Aku telah tenggelam ke dalam
pesona indahnya dirinya. Tapi, aku belum ada keberanian untuk mengakuinya.
Tidak mudah bagi siswa SMP menyatakan cinta. Belum pantas. Tapi, gejolak cinta
di dadaku semakin deras. Ingin sekali aku menyentuh relung jiwanya. Menggapai
setiap kepingan cintanya dan menghangatkan ragaku dengan sinar kasih cintanya.
Tapi, itu hanya angan yang tak mungkin pernah terwujud. Aku terlalu takut. Aku
telah tenggelam dalam ketakutan. Rasa takut dan rasa ingin memilikinya sama
besar. Sungguh. Ketergelamanku ini berubah menjadi keputusasaan yang mendalam
dan tidak berkutik sama sekali. Hanya terpaku mengamatinya tanpa berani
menjamah cintanya.
"Rio !
Ajarin aku nomor dua inilah," ujar seorang cewek membuyarkan lamunanku.
"Eh? Mana yang nggak
bisa coba? Ini mah mudah. Aduh, Vera harus banyak belajar lagi,"
ujarku pada gadis cantik dihadapanku.
"Ah, Rio
aja nggak mau ajarin aku. Susah tahu. Kamu kan pinter. Jadi, semua
soal dianggap mudah. Ayo, ajarin aku," ujar Vera manja padaku.
"Iya iya, sini
perhatiin aku," ujarku sambil menjelaskan padanya.
Vera, remaja yang penuh
dengan keceriaan merupakan teman sekelasku dan tetanggaku. Kami selalu bersama.
Berangkat bersama, belajar bersama, dan bercanda bersama. Akibat kebersamaan
yang sudah sering terjalin, membuat aku merasa nyaman bersamanya.
Hal yang paling aku senangi
saat berjalan dengannya adalah dia menggenggam tanganku selama perjalanan
menyusuri jalan kompleks. Aku sungguh tak ingin melepaska genggaman tangan
lembutnya. Aku benar-benar tenggelam akan dirinya.
"Udah ngerti?"
Tanyaku memastikan Vera.
Vera mengangguk tanda
mengerti. Dia tersenyum lebar memamerkan lesung pipi kanannya dan matanya
menjadi lebih sipit karena senyumannya.
Kapan aku punya keberanian
mengungkapkannya? Aku sudah hampir 3 tahun bersamanya dan bentar lagi lulus
SMP. Tapi, aku benar-benar tidak memiliki keberanian untuk itu. Aku merasa
menjadi seorang cowok yang paling pecundang sejagat raya saat ini. Aku
pecundang!
\(^.^)/
Sebulan lagi akan
dilaksanakan ujian nasional. Waktu bersama antara aku dan Vera semakin sering.
Kami sering belajar bareng. Ntah itu di rumahku atau di rumahnya. Kami ingin
lulus ujian hasil dari kerja keras kami sendiri sehingga kami belajar
mati-matian. Selain ujian nasional sudah di depan mata, hal yang paling penting
adalah adanya tes beasiswa untuk melanjutkan SMA ke Jakarta . Aku sungguh berminat. Tentu saja,
Vera juga berminat. Kami berdua bertekad akan sekolah disana bersama dengan
beasiswa yang kami dapat.
Setiap lika-liku dan
kesulitan selalu kami hadang tanpa keraguan dalam hati. Dan aku semakin
tenggelam dengan Vera. Aku harus mengatakannya. Tentu saja tidak sekarang,
mengingat ujian nasional tinggal menghitung hari lagi. Aku nggak mau membuat
pikirannya menjadi bercabang karenaku. Ketika pengumuman kelulusan dan beasiswa
diumumkan aku pastikan mengungkapkannya. Percayalah!
Vera sungguh kuatir dengan
adanya ujian nasional ini. Dia tidak ingin gagal. Ada rasa ketakutan yang kuat menghantui
dirinya. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Sama saja, aku juga tidak
ingin mengecewakan orang tuaku. Jadi, aku membantu Vera dalam belajar sebelum
ujian datang.
“Susah !”
keluh Vera.
“Mau lulus nggak?” tanyaku.
“Maulah,”
“Kalo mau, ayo, belajar!!!”
Semua mata pelajaran yang
di-ujian-nasional-kan kami lahap hingga tak tersisa. Ikat kepala sudah melekat,
kami siap membuat benteng-benteng pertahanan untuk perang nanti. Vera juga
telah ada kemajuan secara significant. Tapi, kekhawatiran dan ketakutannya
masih belum bisa hilang dalam benaknya. Secara materi dia sudah siap untuk
bertempur, tapi, secara mental dia masih juah. Aku tidak tahu harus berbuat
apa. Dia selalu menggalaukan jika ia tidak bisa menjawab, jika dia lupa rumus,
bahkan mengenai pensil palsu. Dia sungguh kuatir. Aku hanya meminta dia untuk berusaha
dan berdoa. Kerahkan semua kemampuan kita dan berdoa semoga diberik kelancaran.
Dan minta restu kepada orang tua agar hati tenang dalam mengerjakan ujian.
\(^.^)/
"Aaaargh! Akirnya ujian
telah selesai! Bebas! Tinggal menunggu pengumuman. Ujian ini membuat aku hampir
gila. Lulus nggak ya?" teriak Vera.
Dia kelihatan senang sekali
karena ujian telah berakhir. Vera gadis yang lucu dan banyak tanya. Setiap
belajar, pasti dia akan bertanya, "siapa sih yang nemuin ujian sekolah,
ujian semester, bahkan ujian nasional? Capek nih harus belajar terus!"
Tak jarang aku mengulum
senyuman karena pertanyaan anehnya. Dia benar-benar
berusaha dalam menghadapi ujian nasional dan pengambilan beasiswa. Dia
benar-benar membuktikan bahw dia bukan cewek bodoh yang selalu remedial di
kelas. Aku jadi makin tenggelam akan dirinya. Dia ingin berusaha dan tidak
patah semangat ketika dia mengalami kesulitan dalam belajar.
"Besok ujian beasiswa,
ya, Ri?" Tanya Vera di kantin.
Aku mengangguk sambil
meneruskan makan mie ayam Bu Fatimah. Mie ayam yang sangat lezat di sentaro
sekolahku.
"Kalo gitu, hari ini
aku tidak akan belajar dan refreshing. Eh, hari ini papaku pulang loh dari
meeting-nya. Asyik, pasti bawa oleh-oleh," ujar Vera.
Aku mendengarkan dia dengan
seksama. Papanya pulang dari Australia
setelah lebih dari sepekan meeting disana. Sedangkan mamanya selalu setia
menemani Vera di rumah.
"Rio ,
kira-kira aku bisa ngerjain ujian beasiswa besok nggak ya? Aku takut. Aku juga
takut nggak lulus," tanya Vera dengan wajah takut.
"Bisa dan pasti lulus!"
jawabku segera.
"Kita udah belajar
sama-sama selama ini. Kamu pasti bisa mengerjakannya. Kita pasti bisa menembus
benteng pertahanan mereka dan kita pasti lulus! Lulus ujian nasional dan
beasiswa!" ujarku penuh semangat.
"Aduh, si Rio,
ngomongnya seperti kita mau perang aja. Tapi, sungguh aku beneran takut. Aku
takut, aku nggak bisa mengerjakannya. Aku takut buat mama papa kecewa,"
"Kita harus all out.
Segala ketidakmungkinan pasti akan menjadi kemungkinan jika kita berusaha dan
berdoa. Kita harus optimis! Kita kan
udah sama-sama belajar selama ini. Kita tinggal mengaplikasikan apa yang kita
pelajari selama ini. Aku percaya, kamu pasti bisa mengerjakannya dan aku juga
percaya kita pasti lulus! Tugas kita sekarang adalah berdoa dan berdoa. Semoga
hasilnya sesuai apa yang kita inginkan selama ini," ujarku menggebu-gebu. Vera
menghela napas. Aku tahu, dalam dirinya masih ada ketakutan yang mendalam.
"Iya, deh.
Semangat!!!" Ujar Vera sambil mengepalkan tangannya.
Anak yang manis. Selama ini dia
sudah berusaha. Kemalasannya sudah berubah tumbuh menjadi semangat membara. Aku
semakin mengagumi perubahannya ini.
\(^.^)/
Siswa-siswi SMP Mulya Bhakti
telah mendapatkan amplop berisi keterangan kelulusan. Rasa deg-deg-an menyelimuti kami
semua. Terutama aku dan Vera. Aku buka perlahan amplop putih tersebut. Aku
merasa oksigen semakin menipis. Dan akhirnya, aku lulus!
“Ve, gimana dengan
kamu?” tanyaku.
Dari tadi pagi aku
melihat wajahnya muram. Aku tak tahu ada apa dengan dia. Dia hanya terdiam. Aku
kuatir akan dirinya. Apakah dia? Aku nggak berani memikirkan yang macam-macam.
Dia berlari meninggalkan aku seorang diri. Ada apa dengannya?
Ketika aku ingin
mengejarnya, tiba-tiba wali kelasku datang untuk mengumumkan yang diterima
beasiswa tersebut. Aku mendengarkan dengan seksama. Aku berdoa dalam hati
supaya nama Alvera Indira diterima. Aku ikhlas aku nggak lolos, asalkan dia
lolos. Aku terus berdoa dalam hati. Aku berharap nama Vera akan disebutkan oleh
wali kelasku.
“Mario Kurniawan,” ujar
wali kelasku.
Itu namaku. Aku
berharap nama Vera-pun dipanggil.
“Alvera Indira,”
Ya! Akhirnya, kami
berdua lulus program beasiswa. Aku harus memberitahu kabar gembira ini padanya.
Tapi, bagaimana dengan hasil ujian nasionalnya? Mengapa dia begitu sedih?
Dugaan-dugaan buruk mulai bermunculan dalam kepalaku. Aku melihat Vera berada
di depan kantor kepala sekolah dan segera aku melangkahkan kaki menuju tempat
dia berdiri.
“Hei, kamu dari tadi
aku cariin ternyata ada disini. Kamu nggak apa-apa kan ? Gimana hasilnya? Kamu lulus beasiswa,”
ujarku.
Vera tidak menjawab,
dia malah menghambur dalam pelukanku. Dia memeluk tubuhku erat. Dia hanya
terdiam dalam pelukanku. Aku hanya terpaku. Ada apa dengannya?
“Aku…” ujar Vera lembut
dalam pelukanku. “Aku, tidak mengambil beasiswa itu,” lanjutnya.
“Kenapa?” ujarku
melepaskan pelukannya.
Aku sungguh kaget. Aku
sudah bermimpi akan dapat beasiswa bersamanya dan melanjutkan sekolah disana
bersamanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia tidak mengambil? Padahal selama ini dia
sudah belajar mati-matian untuk mendapatkannya. Sekarang dia sudah dapatkan
itu. Tapi?
“Aku harus ke Australia .
Aku melanjutkan sekolah disana. Kami semua pindah kesana. Aku lulus ujian
nasional. Minggu depan aku berangkat. Terima kasih sudah mau jadi temenku dan
mau mengajarkanku semuanya. Maaf, aku harus pergi,” ujar Vera tertunduk. Aku
seperti terkena petir. Sungguh menyakitkan. Aku tidak dapat merasakan darahku
mengalir.
“Walaupun nggak ada aku
disana. Kamu harus tetap ambil. Kamu buktikan kepadaku bahwa kamu selalu jadi
yang terbaik. Terima kasih sudah mengajarkan aku ketidakmungkinan menjadi
sebuah kemungkinan yang besar. Terima kasih selalu menguatkan aku,” tambahnya.
Aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa. Rasa nyeri didadaku menyayat-nyayat.
\(^.^)/
Hari ini Vera akan berangkat ke Ausie sedangkan aku masih
terpuruk disini. Aku tidak mengambil beasiswa itu. Ntah, aku sudah tidak
bersemangat lagi. Perasaanku masih terpendam dalam hatiku. Aku masih merasa
takut luar biasa. Aku biarkan diri ini tenggelam ke dalam pesona dirinya tanpa
mencoba untuk keluar dari sana .
Aku merasa benar-benar seperti pecundang. Aku sadari itu, tapi, aku sampai saat
ini tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya!
Aku datang ke rumah Vera untuk melepaskan kepergiannya ke
Australia .
Kepindahannya ini membuat aku sedikit tertekan. Aku membantu Vera dalam
menyusun koper ke depan rumahnya. Aku lihat dia begitu sedih akan kepergian
ini. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Aku tidak ingin
bertanya takut membuatnya tambah sedih. Aku benar-benar merasakan panasnya
mataku ini, tapi, aku mencoba tersenyum ketika dia melihat ke arahku.
“Rajin belajar ya disana. Jangan males lagi. Biar selalu
dapat juara pertama. Buktikan bahwa Alvera
Indira merupakan gadis cerdas! Udah jangan nangis gitu dong. Kita pasti ketemu
lagi. Percaya deh,” ujarku sambil merangku Vera.
Aku menghela napas
ketika Vera masuk ke dalam mobil hingga mobil itu melesat meninggalkan aku yang
masih terpaku disini.
0 komentar:
Posting Komentar