Pages



Jumat, 23 Maret 2012

Tenggelam (Part I)


Aku telah tenggelam ke dalam pesona indahnya dirinya. Tapi, aku belum ada keberanian untuk mengakuinya. Tidak mudah bagi siswa SMP menyatakan cinta. Belum pantas. Tapi, gejolak cinta di dadaku semakin deras. Ingin sekali aku menyentuh relung jiwanya. Menggapai setiap kepingan cintanya dan menghangatkan ragaku dengan sinar kasih cintanya. Tapi, itu hanya angan yang tak mungkin pernah terwujud. Aku terlalu takut. Aku telah tenggelam dalam ketakutan. Rasa takut dan rasa ingin memilikinya sama besar. Sungguh. Ketergelamanku ini berubah menjadi keputusasaan yang mendalam dan tidak berkutik sama sekali. Hanya terpaku mengamatinya tanpa berani menjamah cintanya.
"Rio! Ajarin aku nomor dua inilah," ujar seorang cewek membuyarkan lamunanku.
"Eh? Mana yang nggak bisa coba?  Ini mah mudah. Aduh, Vera harus banyak belajar lagi," ujarku pada gadis cantik dihadapanku.
"Ah, Rio aja nggak mau ajarin aku. Susah tahu. Kamu kan pinter. Jadi, semua soal dianggap mudah. Ayo, ajarin aku," ujar Vera manja padaku.
"Iya iya, sini perhatiin aku," ujarku sambil menjelaskan padanya.
Vera, remaja yang penuh dengan keceriaan merupakan teman sekelasku dan tetanggaku. Kami selalu bersama. Berangkat bersama, belajar bersama, dan bercanda bersama. Akibat kebersamaan yang sudah sering terjalin, membuat aku merasa nyaman bersamanya.
Hal yang paling aku senangi saat berjalan dengannya adalah dia menggenggam tanganku selama perjalanan menyusuri jalan kompleks. Aku sungguh tak ingin melepaska genggaman tangan lembutnya. Aku benar-benar tenggelam akan dirinya.
"Udah ngerti?" Tanyaku memastikan Vera.
Vera mengangguk tanda mengerti. Dia tersenyum lebar memamerkan lesung pipi kanannya dan matanya menjadi lebih sipit karena senyumannya. 
Kapan aku punya keberanian mengungkapkannya? Aku sudah hampir 3 tahun bersamanya dan bentar lagi lulus SMP. Tapi, aku benar-benar tidak memiliki keberanian untuk itu. Aku merasa menjadi seorang cowok yang paling pecundang sejagat raya saat ini. Aku pecundang!
\(^.^)/
Sebulan lagi akan dilaksanakan ujian nasional. Waktu bersama antara aku dan Vera semakin sering. Kami sering belajar bareng. Ntah itu di rumahku atau di rumahnya. Kami ingin lulus ujian hasil dari kerja keras kami sendiri sehingga kami belajar mati-matian. Selain ujian nasional sudah di depan mata, hal yang paling penting adalah adanya tes beasiswa untuk melanjutkan SMA ke Jakarta. Aku sungguh berminat. Tentu saja, Vera juga berminat. Kami berdua bertekad akan sekolah disana bersama dengan beasiswa yang kami dapat.
Setiap lika-liku dan kesulitan selalu kami hadang tanpa keraguan dalam hati. Dan aku semakin tenggelam dengan Vera. Aku harus mengatakannya. Tentu saja tidak sekarang, mengingat ujian nasional tinggal menghitung hari lagi. Aku nggak mau membuat pikirannya menjadi bercabang karenaku. Ketika pengumuman kelulusan dan beasiswa diumumkan aku pastikan mengungkapkannya. Percayalah!
Vera sungguh kuatir dengan adanya ujian nasional ini. Dia tidak ingin gagal. Ada rasa ketakutan yang kuat menghantui dirinya. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Sama saja, aku juga tidak ingin mengecewakan orang tuaku. Jadi, aku membantu Vera dalam belajar sebelum ujian datang.
Susah!” keluh Vera.
“Mau lulus nggak?” tanyaku.
“Maulah,”
“Kalo mau, ayo, belajar!!!”
Semua mata pelajaran yang di-ujian-nasional-kan kami lahap hingga tak tersisa. Ikat kepala sudah melekat, kami siap membuat benteng-benteng pertahanan untuk perang nanti. Vera juga telah ada kemajuan secara significant. Tapi, kekhawatiran dan ketakutannya masih belum bisa hilang dalam benaknya. Secara materi dia sudah siap untuk bertempur, tapi, secara mental dia masih juah. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Dia selalu menggalaukan jika ia tidak bisa menjawab, jika dia lupa rumus, bahkan mengenai pensil palsu. Dia sungguh kuatir. Aku hanya meminta dia untuk berusaha dan berdoa. Kerahkan semua kemampuan kita dan berdoa semoga diberik kelancaran. Dan minta restu kepada orang tua agar hati tenang dalam mengerjakan ujian.
\(^.^)/
"Aaaargh! Akirnya ujian telah selesai! Bebas! Tinggal menunggu pengumuman. Ujian ini membuat aku hampir gila. Lulus nggak ya?" teriak Vera.
Dia kelihatan senang sekali karena ujian telah berakhir. Vera gadis yang lucu dan banyak tanya. Setiap belajar, pasti dia akan bertanya, "siapa sih yang nemuin ujian sekolah, ujian semester, bahkan ujian nasional? Capek nih harus belajar terus!"
Tak jarang aku mengulum senyuman karena pertanyaan anehnya. Dia benar-benar berusaha dalam menghadapi ujian nasional dan pengambilan beasiswa. Dia benar-benar membuktikan bahw dia bukan cewek bodoh yang selalu remedial di kelas. Aku jadi makin tenggelam akan dirinya. Dia ingin berusaha dan tidak patah semangat ketika dia mengalami kesulitan dalam belajar.
"Besok ujian beasiswa, ya, Ri?" Tanya Vera di kantin.
Aku mengangguk sambil meneruskan makan mie ayam Bu Fatimah. Mie ayam yang sangat lezat di sentaro sekolahku. 
"Kalo gitu, hari ini aku tidak akan belajar dan refreshing. Eh, hari ini papaku pulang loh dari meeting-nya. Asyik, pasti bawa oleh-oleh," ujar Vera.
Aku mendengarkan dia dengan seksama. Papanya pulang dari Australia setelah lebih dari sepekan meeting disana. Sedangkan mamanya selalu setia menemani Vera di rumah. 
"Rio, kira-kira aku bisa ngerjain ujian beasiswa besok nggak ya? Aku takut. Aku juga takut nggak lulus," tanya Vera dengan wajah takut.
"Bisa dan pasti lulus!" jawabku segera.
"Kita udah belajar sama-sama selama ini. Kamu pasti bisa mengerjakannya. Kita pasti bisa menembus benteng pertahanan mereka dan kita pasti lulus! Lulus ujian nasional dan beasiswa!" ujarku penuh semangat.
"Aduh, si Rio, ngomongnya seperti kita mau perang aja. Tapi, sungguh aku beneran takut. Aku takut, aku nggak bisa mengerjakannya. Aku takut buat mama papa kecewa,"
"Kita harus all out. Segala ketidakmungkinan pasti akan menjadi kemungkinan jika kita berusaha dan berdoa. Kita harus optimis! Kita kan udah sama-sama belajar selama ini. Kita tinggal mengaplikasikan apa yang kita pelajari selama ini. Aku percaya, kamu pasti bisa mengerjakannya dan aku juga percaya kita pasti lulus! Tugas kita sekarang adalah berdoa dan berdoa. Semoga hasilnya sesuai apa yang kita inginkan selama ini," ujarku menggebu-gebu. Vera menghela napas. Aku tahu, dalam dirinya masih ada ketakutan yang mendalam.
"Iya, deh. Semangat!!!" Ujar Vera sambil mengepalkan tangannya.
Anak yang manis. Selama ini dia sudah berusaha. Kemalasannya sudah berubah tumbuh menjadi semangat membara. Aku semakin mengagumi perubahannya ini.
\(^.^)/
Siswa-siswi SMP Mulya Bhakti telah mendapatkan amplop berisi keterangan kelulusan. Rasa deg-deg-an menyelimuti kami semua. Terutama aku dan Vera. Aku buka perlahan amplop putih tersebut. Aku merasa oksigen semakin menipis. Dan akhirnya, aku lulus!
“Ve, gimana dengan kamu?” tanyaku.
Dari tadi pagi aku melihat wajahnya muram. Aku tak tahu ada apa dengan dia. Dia hanya terdiam. Aku kuatir akan dirinya. Apakah dia? Aku nggak berani memikirkan yang macam-macam. Dia berlari meninggalkan aku seorang diri. Ada apa dengannya?
Ketika aku ingin mengejarnya, tiba-tiba wali kelasku datang untuk mengumumkan yang diterima beasiswa tersebut. Aku mendengarkan dengan seksama. Aku berdoa dalam hati supaya nama Alvera Indira diterima. Aku ikhlas aku nggak lolos, asalkan dia lolos. Aku terus berdoa dalam hati. Aku berharap nama Vera akan disebutkan oleh wali kelasku.
“Mario Kurniawan,” ujar wali kelasku.
Itu namaku. Aku berharap nama Vera-pun dipanggil.
“Alvera Indira,”
Ya! Akhirnya, kami berdua lulus program beasiswa. Aku harus memberitahu kabar gembira ini padanya. Tapi, bagaimana dengan hasil ujian nasionalnya? Mengapa dia begitu sedih? Dugaan-dugaan buruk mulai bermunculan dalam kepalaku. Aku melihat Vera berada di depan kantor kepala sekolah dan segera aku melangkahkan kaki menuju tempat dia berdiri.
“Hei, kamu dari tadi aku cariin ternyata ada disini. Kamu nggak apa-apa kan? Gimana hasilnya? Kamu lulus beasiswa,” ujarku.
Vera tidak menjawab, dia malah menghambur dalam pelukanku. Dia memeluk tubuhku erat. Dia hanya terdiam dalam pelukanku. Aku hanya terpaku. Ada apa dengannya?
“Aku…” ujar Vera lembut dalam pelukanku. “Aku, tidak mengambil beasiswa itu,” lanjutnya.
“Kenapa?” ujarku melepaskan pelukannya.
Aku sungguh kaget. Aku sudah bermimpi akan dapat beasiswa bersamanya dan melanjutkan sekolah disana bersamanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia tidak mengambil? Padahal selama ini dia sudah belajar mati-matian untuk mendapatkannya. Sekarang dia sudah dapatkan itu. Tapi?
“Aku harus ke Australia. Aku melanjutkan sekolah disana. Kami semua pindah kesana. Aku lulus ujian nasional. Minggu depan aku berangkat. Terima kasih sudah mau jadi temenku dan mau mengajarkanku semuanya. Maaf, aku harus pergi,” ujar Vera tertunduk. Aku seperti terkena petir. Sungguh menyakitkan. Aku tidak dapat merasakan darahku mengalir.
“Walaupun nggak ada aku disana. Kamu harus tetap ambil. Kamu buktikan kepadaku bahwa kamu selalu jadi yang terbaik. Terima kasih sudah mengajarkan aku ketidakmungkinan menjadi sebuah kemungkinan yang besar. Terima kasih selalu menguatkan aku,” tambahnya. Aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa. Rasa nyeri didadaku menyayat-nyayat.
\(^.^)/
Hari ini Vera akan berangkat ke Ausie sedangkan aku masih terpuruk disini. Aku tidak mengambil beasiswa itu. Ntah, aku sudah tidak bersemangat lagi. Perasaanku masih terpendam dalam hatiku. Aku masih merasa takut luar biasa. Aku biarkan diri ini tenggelam ke dalam pesona dirinya tanpa mencoba untuk keluar dari sana. Aku merasa benar-benar seperti pecundang. Aku sadari itu, tapi, aku sampai saat ini tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya!
Aku datang ke rumah Vera untuk melepaskan kepergiannya ke Australia. Kepindahannya ini membuat aku sedikit tertekan. Aku membantu Vera dalam menyusun koper ke depan rumahnya. Aku lihat dia begitu sedih akan kepergian ini. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Aku tidak ingin bertanya takut membuatnya tambah sedih. Aku benar-benar merasakan panasnya mataku ini, tapi, aku mencoba tersenyum ketika dia melihat ke arahku.
“Rajin belajar ya disana. Jangan males lagi. Biar selalu dapat juara pertama. Buktikan bahwa Alvera Indira merupakan gadis cerdas! Udah jangan nangis gitu dong. Kita pasti ketemu lagi. Percaya deh,” ujarku sambil merangku Vera.
Aku menghela napas ketika Vera masuk ke dalam mobil hingga mobil itu melesat meninggalkan aku yang masih terpaku disini.

| Free Bussines? |

0 komentar:

Posting Komentar