Pages



Sabtu, 01 September 2012

Masa Lalu Cinta Lama


Rembulan pun redup
Melihat langkahku yang pudar
Aku tak tahu harus berjalan kemana
Semua telah tertutup debu
Aku terlalu lemah untuk berkata
Biarkan perasaan ini terpendam
Diselimuti lumut tak berbekas
“Hoi, Gian! Lagi ngapain lo? Nulis puisi lagi? Sudahlah, kalau lo suka dengan dia, bilang saja. Cupu amat lo jadi orang,”
“Sial! Lo kira menyatakan perasaan itu segampang beli gado-gado. Tinggal pesen, nunggu, terus makan. Ya, nggaklah. Itu sulit,”
“Otak lo terlalu rumit, Ian. Kayak gue ini, si Vino penakluk hati wanita. Siapa sih yang tahan melihat ketampanan seorang Vino?”
Gian hanya tertawa menanggapi guyonan Vino. Temannya ini memang memiliki wajah lebih tampan dari Gian. Jadi, dia tidak pernah khawatir akan ditolak wanita. Bahkan, dia dengan mudah mempermainkan hati wanita. Tak jarang, banyak wanita mencarinya karena sakit hati akibat ulahnya. Tak jarang juga, banyak wanita yang memarahinya karena ia telah selingkuh dengan banyak wanita. Tapi, semua itu, hanya dijadikan angin lalu oleh Vino. Dia selalu berpikir, dia masih mudah, jadi, buat apa setia dengan satu wanita. Sangat berbeda dengan Gian.
YYY
“Mau sampai kapan sih lo suka sama cewek itu? Bayangkan, sudah hampir sepuluh tahun yang lalu,”
“Hahaha. Vino, dia itu cinta pertama gue. Gue nggak kayak lo, yang bisa gonta-ganti cewek dalam waktu yang singkat,”
“Eciye, temen gue ini ternyata setia, ya? Terus, kapan lo mau menyatakan perasaan lo?”
“Itu sangat sulit, Vin. Gue sama dia nggak dekat dengan dia. Gue nggak tahu harus bermula darimana,”
“Ah! Lo terlalu penakut. Lo belum mencoba tetapi udah kalah duluan,”
“Biarkan, gue mengamatinya saja. Gue nggak mau, dia membenci gue kalau dia tahu gue sayang banget sama dia,” ujar Gian.
“Lo kalah sebelum berperang. Dari SD kelas lima lo memendam perasaan ini. Tapi, lo nggak ada usaha sedikit pun. Gian, cewek nggak akan tahu apa perasaan lo kalau lo hanya dia seperti ini. Setidaknya, lo jujur sama perasaan lo,”
Kedua pemuda itu terlihat bersitegang dengan pendapat yang berbeda. Vino sangat menyayangkan dengan sikap pecundang yang dimiliki Gian. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan Gian sehingga Gian terlalu takut untuk menyatakan perasaannya.
Dari mereka duduk dibangku kelas 5 sekolah dasar hingga umur mereka 21 tahun. Tak ada kejujuran dari Gian tentang perasaannya. Dia selalu menutupinya. Alasannya klasik, dia takut dibenci oleh cewek pujaannya. Tapi, sebenarnya, dia tidak akan pernah tahu sampai ia mencoba menyatakan perasaannya.
“Lo beneran keras kepala, Ian. Gue mencoba membantu lo tetapi lo. Ah! Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo,”
Gian hanya tersenyum menanggapi pernyataan Vino. Sejujurnya, dia ingin menyatakan perasaannya pada gadis pujaan yang telah lama singgah dihatinya tetapi dia tidak tahu harus dimulai darimana.
“Sudahlah, balik yok. Gue capek mendengarkan lo ceramah kayak gitu,” ujar Gian.
Vino hanya menatap Gian yang sudah mulai berjalan menuju parkiran. Dia hanya menggelengkan kepalanya dan mengikuti langkah panjang temannya itu.
YYY
Terlalu sulit menghapus rasa ini
Rasa yang telah menghitam di hati
Rasa yang telah berdebu
Tak ada cinta yang menyambut
Tapi,
Akan selalu ku pertahankan semua ini
Perasaan ini tak akan hilang di tengah hujan
Biarkan dirinya abadi dalam ingatanku
Gian meletakkan bolpoinnya ketika ringtone handphone-nya berdering. Ia melihat nama Vino Bawel di layar handphone-nya. Ia segera menekan tombol answer dan terdengar suara Vino di seberang sana.
“Woy, Gian! Lo lagi apa?”
“Berisik! Gue lagi mau tidur. Kenapa telponin gue? Lo masih kangen sama gue?”
“Amit-amit! Gue punya rencana. Kita buat reunian teman-teman SD kita aja. Sekalian, lo bisa ketemu dengan Vero. Lagi musim libur semester-an nih,”
“Ah! Gila lo! Mereka kan sudah pada sibuk masing-masing. Gue juga nggak yakin kalau Vero akan datang,”
“Ck! Lo selalu gitu. Sudah takut duluan sebelum mencoba. Bisa nggak sih, sifat buruk lo ini dihilangin sebentar. Laki-laki harus gentle!”
“Aduh! Terserah lo saja deh, Vin. Gue terima beres saja. Atur saja deh,”
“Ah! Lo ini, awas, lo akan nyesel kalau tidak memulai,” ujar Vino mengingatkan.
“Ya. Sudah ah, perasaan gue nggak harus diungkapkan. Belum waktunya Vin. Tunggu waktunya dong,”
“Sampai kapan? Sampai dia diambil orang lain?”
“Gue sih terserah. Dia mau pacaran dengan siapa saja tetapi gue yang akan jadi pelabuhan terakhirnya,”
“Ya, ya, ya. Intinya, gue sudah ingatkan lo,”
“Terima kasih Vino yang charming. Bye.
Bye,”
YYY
Vero adalah perempuan yang sangat dikagumi oleh Gian dari dulu hingga sekarang. Teman sekolahnya ketika SD. Teman satu kelas tetapi mereka tidak dekat. Hanya sekadar say hello. Tidak pernah bermain bareng. Veronica Larasati. Cinta pertama Gian yang tidak pernah mati sampai detik ini.
“Gian! Gian!”
“Apaan sih lo, Vin? Norak amat! Nggak usah pakai teriak-teriak. Kayak perempuan saja lo ini,”
Vino hanya menyengir. Dia duduk di samping Gian. Saat ini mereka sedang duduk di balkon rumah Gian. Dia memang sangat suka main ke rumah Gian dan langsung masuk ke kamar Gian tanpa mengetuk pintu.
“Minggu depan kita akan mengadakan reunian di Kampung Sea Food,” ujar Vino sambil menyebutkan salah satu tempat wisata kuliner yang terkenal di daerahnya.
“Serius lo? Gue dan Vero kan dulu akrab. Jadi, gue cari nomor dia dan gue dapet. Setelah itu, gue telpon dia dan mengatakan apa maksud gue. Dan dia menyambut dengan meriah. Dia yang jadi salah satu koordinator selain gue. Gimana? Tertarik?”
“Serius? Gue ikutan kalau gitu,”
“Hahaha. Sudah gue duga lo akan gitu. So, jangan pernah meremehkan kemampuan gue dalam berencana,”
“Ya, ya, ya. Terserah lo mau ngomong apa. Intinya, gue nggak sabar akan bertemu dengannya minggu depan. Gue harus terlihat cool di hadapannya,”
Gian tersenyum tertahan sangking bahagianya. Rasanya, ingin meledak dan berubah menjadi kepingan-kepingan kebahagiaan. Vino merangkul temannya yang sudah ia kenal dari ia duduk di bangku taman kanak-kanak. Akhirnya, ia dapat mempertemukan Gian dan Vero setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
YYY
“Vin, gue mau ke gramedia. Lo mau ikut apa nggak?”
“Ikut saja deh. Gue kan menumpang sama lo. Hahaha. Gue kan nggak mau rugi sedikit,” uajr Vino tertawa.
“Ah! Lo ini. Ayo!”
Gian dan Vino berjalan menuju tempat parkiran dimana mobil Gian bersemayam. Gian melajukan mobil-nya dengan kecepatan normal. Mereka berbincang-bincang mengenai reunian yang akan dilaksanakan minggu depan. Jujur, Gian merasa gugup menanti hari itu.
Dalam waktu lima belas menit, mereka sudah berada di tempat tujuan. Gramedia. Tempat favorite keduanya. Gian langsung menghambur ke buku mengenai filsafat sedangkan Vino segera meluncur ke buku tentang tanaman. Walaupun playboy seperti itu, Vino merupakan cowok yang sangat menyukai tanaman.
Ketika Gian sedang berjalan mundur, tanpa sengaja ia mengijak kaki seseorang.
“Ups, maaf. Gue nggak sengaja,” ujar Gian meminta maaf.
“Ya. Lain kali hati-hati,”
“Ada apaan sih?” Tanya Vino mendekati Gian. “Eh? Vero? Wow! Kebetulan sekali,”
“Vino? Ya. Kebetulan. Sama siapa lo?”
“Sama anak ini,” ujar Vino menunjuk Gian.
Vero mengamati wajah Gian. Ia sedikit berpikir seperti mengingat sesuatu.
“Gian ya? Gianza Iskandar. Cowok paling pintar di kelas. Makin ganteng aja lo. Apa kabar?”
“Baik,” jawab Gian singkat.
Mereka berbincang sebentar mengenai reunian yang akan mereka adakan minggu depan. Sepertinya, rencana reunian kali ini akan berhasil. Gian masih agak jaim dengan keadaan ini. Sejujurnya, dia ingin bercengkrama lebih akrab dengan Vero tetapi ia terlalu malu dan grogi. Jadi, hingga Vero berpamitan untuk pulang lebih dulu, Gian hanya diam dan sesekali tersenyum.
“Gian, lo masih sama kayak dulu, ya. Nggak berisik seperti Vino. Gue balik dulu ya. Minggu depan jangan lupa datang,” ujar Vero sebelum ia pergi meninggalkan mereka.
Gian hanya tersenyum. Vino melongok menatap Gian yang sedari tadi hanya tersenyum menanggapi Vero. Vino nggak habis pikir bahwa temannya sama sekali tidak respect. Vino tidak peduli. Setidaknya, Vero tidak lupa dengan Gian. Awal yang baik.
YYY
Guys, mohon perhatiannya ya,” suara Vero menggema.
Gian dan Vino memerhatikan Vero dari jarak yang tidak terlalu jauh. Gian sangat mengagumi perempuan itu. Semakin hari semakin cantik. Entah, mengapa jantungnya berdegup lebih cepat.
“Gue senang akhirnya kita dapat berkumpul lagi walaupun tidak banyak yang datang. Gue bicara disini selaku koordinator sangat senang karena acara ini tidak mengecewakan. Hmm, dan satu lagi, gue akan beritahu kalian kabar menggembirakan,” ujar Vero tersenyum lebar.
“Bulan depan, gue akan menikah. Jangan lupa datang ya. Gue beritahu kalian secara life. So, kalian harus datang,”
Gian dan Vino terpaku. Tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Vino merangkul Gian, mencoba menguatkan temannya ini. Dia tahu pasti apa yang sedang dirasakan Gian saat ini. Hancur berkeping-keping.
Sore hari.
“Vero, sorry, bukan maksud gue untuk menghancurkan pernikahan lo bulan depan. Tapi, apakah lo tahu, lo telah menyakiti seseorang? Gian yang sedari SD sangat menyukai lo,”
“Hah? Terus, gue harus gimana Vin? Gue sama sekali tidak tahu. Gue mohon, jangan buat gue marah. Lo jangan salahkan gue. Gue nggak tahu apa-apa,”
“Gue minta tolong sama lo,”
YYY
Gian bergegas ke kafe yang tak jauh dari komplek rumahnya. Vero minta ketemuan dengannya. Sejujurnya, dia tidak ingin bertemu dengan Vero karena dengan melihat Vero, hatinya terasa hancur tak berbekas. Vero sudah terlihat duduk di salah satu kursi kafe. Dia mendekati Vero.
“Duduk Gian,” ujar Vero dengan senyumnya.
“Ada apa, Ve? Tumben,”
Vero mengaduk gelas minumnya dan kemudian meminumnya secara perlahan.
“Sorry, Ian. Gue nggak mau lo sakit hati terlalu lama karena gue. Gue nggak tahu, lo mencintai gue selama itu. Jujur, gue sangat kagum dengan perasaan lo yang tidak pernah berpaling dari gue,”
“Vino yang kasih tahu?”
Vero mengangguk dan berkata, “Gue hanya mendengar desas-desus kalau lo menaruh hati dengan gue saat kita duduk dibangku SD. Gue nggak tahu, ternyata perasaan itu tumbuh hingga saat ini,”
Gian menghela napas panjang dan menatap Vero. Mata yang teduh tetapi semakin lama Gia menatap indahnya mata itu, perasaan Gian semakin remuk. Dia merasa sangat sesak dan kemudian dia berpaling dari mata itu.
“Itu hanya cinta-cinta anak SD yang tumbuh sampai saat ini. Gue nggak mau jadi penghalang pernikahan lo. Lo berhak bahagia tanpa gangguan gue. Gue ikhlas. Cinta yang tumbuh di hati gue akan segera gue hapuskan. Gue nggak mau jadi pengganggu masalah cinta lo,”
“Seandainya, lo menyatakan perasaan kepada gue…”
“Sudahlah, Ve. Gue nggak apa-apa. Semoga lo bahagia dengan pilihan lo. Gue dan Vino pasti datang diacara itu. Perasaan di dalam hati gue, biar gue yang mengatasinya. Cinta adalah penyakit tetapi penyakit yang dapat mengobati penyakit lainnya. Gue percaya, walaupun gue sakit karena cinta, suatu saat, gue akan sembuh karena cinta juga. Lo bahagialah dengannya,”
“Gue salut sama lo, Gi. Gue akan tunggu kehadiran lo. Gue balik dulu ya. Maaf gue mengecewakan lo,”
Gian hanya tersenyum, memerhatikan Vero yang berjalan keluar dari kafe dan semakin jauh meninggalkan Gian yang masih duduk terpaku. Gian tersenyum getir.
“Ternyata, gue kalah sebelum berperang. Gue terlalu takut untuk jujur atas perasaan gue. Ketakutan membuat gue masuk ke dalam kegalutan. Gue harus segera sadar, cinta yang tumbuh sekian lama harus dihentikan saat ini juga,” bisik Gian kepada dirinya sendiri.
Ku cinta kamu namun ku tersiksa
Bahagialah dengan keputusanmu
Bahagialah dengan pilihanmu
Ku tersiksa dengan cinta yang kubuat sendiri
Kau tak pernah tahu
Cintaku sangat dalam untukmu
Biarkan diriku yang terluka
Terluka karena indahnya mencintaimu
Kutitipkan cinta putih ini padanya
Pasti akan kutemukan sinar cinta dihati lain
Gian sadar, cinta pertamanya tidak dapat ia miliki selamanya. Semua ini akan dijadikan pelajaran berharga baginya.
TAMAT
Read More..

Sabtu, 18 Agustus 2012

Idul Fitri

Suara gema takbir telah terdengar. Kemenangan telah di depan mata. Ada rasa senang sekaligus sedih. Tahun ini sangat berbed dari tahun sebelumnya. Sangat berbeda.
Mulai dari Ramadhan hingga detik ini aku merasa perbedaan yang sangat significant. Aku masih tidak memercayai semua ini. Terkadang aku bertanya, cukup adilkah semua ini? Jujur, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Menangis semua ini. Tapi, tidak bisa. Tak ada airmata yang mengalir di wajahku. Aku hanya merasa mataku berkaca-kaca tetapi tidak menangis. Jujur, aku merasa sesak. Sangat! Rasanya aku ingin berteriak. Teriak sekencang-kencangnya. Mengapa ini terjadi padaku?
Idul Fitri kali ini memang sangat berbeda di dalam keluargaku. Untuk kali pertamanya, keluarga ini tidak menjalankan Ramadhan dan Idul Fitri tanpa dua orang yang sangat aku sayangi. Tanpa papa dan kak Diaz. Selang waktu enam bulan. Secepat itu? Ya! Papaku meninggal bulan Desember 2011 dan kak Diaz meninggal bulan Mei 2012. Aku sangat sedih.
Aku tidak bisa mencium papa dan kak Diaz. Tidak bisa! Terkadang, aku iri melihat orang lain bisa menggandeng tangan papanya dan tertawa bersama kakak mereka. Aku sangat iri. Seandainya, aku masih bisa mencium mereka......
Aku berharap, semoga ALLOH mempertemukan kami di surga. Aku sangat ingin bertemu dengan papa dan kak Diaz. Aku kangen mereka.
Aku bersyukur, aku bukanlah anak yang canggung untuk bilang "Aku sayang papa" atau "Aku sayang kak Diaz" dan aku tidak pernah canggung untuk mencium kedua pipi mereka. Aku tidak pernah canggung menunjukkan rasa sayangku pada orangtuaku dan kakakku. Karena kebiasaan itu, aku jadi merasa benar-benar kehilangan.
Aku menyesal saat beberapa jam sebelum papa meninggal. Mengapa aku tidak mencium papa? Biasanya, setiap hari aku selalu mencium papa. Kenapa saat itu aku tidak mencium papa? Kenapa? Aku merasa sangat bodoh! Aku hanya mengamabil gambar papa. Itupun hanya sekali. Biasanya aku paling suka mengambil gambar papa dan mama berkali-kali. Tapi, mengapa saat itu aku mengambil gambar hanya sekali? Aku menyesal sampai detik ini.
Dan aku juga merasa menyesal. Sangat menyesal. Saat beberapa jam sebelum kak Diaz meninggal, dia meminta aku untuk menemaninya di kamar. Tapi, aku malah menolaknya. Alasannya cuma karena aku males. Aku sangat tolol! Biasanya, aku langsung menemaninya sambil meminjat keningnya. Sesekali mencium pipi kakakku. Tapi, saat itu aku malah menolaknya. Aku sangat menyesal. Mengapa aku tidak mengindahkan pinta kakakku saat itu?
Akhirnya, malam ini, sekian lama aku tahan, air mata ini keluar juga. Mengalir dengan derasnya. Aku sangat merindukan Almarhum papa dan kak Diaz. Sangat!
Loveyou.
Idul Fitri ini terasa sangat berbeda tanpa mereka di sampingku. Jika boleh meminta, aku ingin kehadiran papa dan kak Diaz disini. Aku ingin memeluk dan mencium mereka.
Read More..

Jumat, 17 Agustus 2012

Memory of August 17th


17 Agustus 2012.
Happy birthday Indonesia. Dirgahayu Negeriku Tercintah :*
Semoga semakin jaya dan korupsi semakin berkurang. Semoga pemerintahnya menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, supaya tidak ada lagi yang dirugikan. Aamiin. Maaf pemirsah kalau aku malah curhat. Nggak mengandung SARA, kan? Menganduk anak kambing nggak apa-apa, kan? Hihihi. Maaf kalau garing. Angkat saja kalau sudah garing. Ngok!
Kalau 17-an begini, aku ingat jamannya masih kecil. Busyet, berasa sudah tua saja aku ini. Ingat, umur-ku masih 19 tahun, jadi, belum bisa dikategorikan tua. Masih unyuk dan menggemaskan kok. Muehehehehe. Memuji diri sendiri nggak dosa, kan? Kalau nggak suka, ya, nggak usah dilanjutin membacanya. Buahahaha. Lanjooot!
Jaman gue masih bau kencur dan ingusan, aseli, waktu kecil gue ingusan nggak berhenti-berhenti. Eits, ini kok malah membahas ingus sih? Back to the point. Jaman gue masih terlalu unyuk –masih ESDE– gue pernah ikut lomba di acara 17-an di kampung atau di sekolahku loh. Bangga sedikit nggak apa-apa, kan?
Ya, walaupun nggak menang, yang penting sudah pernah ikut berpartisipasi. Aku pernah ikut lomba makan kelereng. Hebat kan aku? Makanya jangan remehkan aku. Aku selain unyuk tetapi juga memiliki attitude yang agak nggak benar. Abnormal gitu deh. Nggak usah syok gitu bisa kali, ya? Biasa saja. Selama kelereng masih bulat dan perutku masih buncit, disitulah kambing pak lurah kelihatan tampannya. Ini apa hubungannya coba? Lupakan!
Well, ada satu pengalaman yang kalau diingat-ingat membuat aku pengen menjedotkan kepala di pohon toge. Pengalaman atau kenangan ya? Ya, intinya membuat aku malu. Malu untuk diceritakan. Tidak pantas anak-cucu-ku mengetahui cerita ini. Buahaha. Berasa mau nikah besok aja sih aku ini.
Jujur, jari-jariku tidak kuat untuk menuliskan ini. Tapi, indahnya berbagi membuatku harus tahan malu. Hmm, ketika aku masih kecil, aku sangat cengeng. Cengeng abis. Amit-amit kalau diingat-ingat. Cengengnya nggak ketulungan. Dan satu lagi, aku sebenarnya penakut tetapi penasaran. Nah loh.
Jadi, begini awal mulanya. Aku suka main di kampung orang lain karena disana ada teman sekolahku. Rata-rata teman sekolahku main di lapangan A bukan di lapangan B. Jadi, aku ikutan kesana. Nggak jauh. Ngesot pun masih bisa dijangkau kok. Jadi, aku ikutan lomba di lapangan A. Aku sudah mendaftarkan diri lomba balap kelereng. Tahu kan? Itu loh, kita gigit  ujung sendok dan ada kelereng di ujung satunya. Ngerti nggak? Kalau aku sih nggak ngerti. Hohoho.
Okay, sambil menunggu bagianku dipanggil, aku main-main dulu dengan teman-temanku disana. Mereka jahil sama aku, sebenernya, aku juga jahil tetapi aku cengeng. Eneg banget nggak tuh? Hiks. Kami disana bermai-main alakadar-nya. Maklum, jaman dulu masih suka main tanah bukan main gadget kece seperti anak-anak jaman sekarang. Nah, tiba-tiba salah satu temanku berkata, “Yola, kamu ikut lomba balap kelereng, kan? Sudah bawa sendok dan kelereng?”
Aku hanya bengong ketika temanku berkata seperti itu karena memang tidak ada pengumuman untuk membawa peralatan perlombaan masing-masing. Mukaku cengok banget. Kelihatan tololnya. Aku sadar dan aku hanya menggeleng.
“Hayo, Yola. Kamu nggak bisa ikutan lomba,” ujarnya menakutiku.
Mampuslah! Tambah bloon saja mukaku. Aku sedikit ketakutan. Pasalnya, aku tidak punya kelereng. Bukan karena nggak bisa membeli kelereng atau tidak suka main kelereng. Kelereng-ku sudah dibuang di sumur oleh kakakku. (Baca cerita kelereng).
“Aku pinjem punyamu sih,” rengekku.
“Nggak boleh.”
“Pelit betul. Pinjem sih.”
“Nggak mau.”
Aku langsung badmood seketika. Aku balik ke rumah ketika di jalan, samar-samar aku mendengar namaku dipanggil dari pengeras suara. Sial! Aku nggak ikutan lomba dan aku sadar, ternyata aku dikerjain sama temanku supaya dia nggak ada saingannya. Lolok banget, kan? Memalukan! Cengeng-cengeng begini, aku kayak anak laki kalau ikutan lomba. Bringasan gitu. Grasak-grusuk.
Karena tidak bisa ikut lomba, akhirnya, aku menangis di rumah. Benar-benar pengen ikutan lomba. Terpaksa, aku ikut lomba makan kelereng. Hehehe.
Selain itu, ada satu masa-masa dongok. Sudah aku bilang sebelumnya, kalau aku penakut tetapi penasaran. Jadi, biasanya setiap 17-an di tempatku suka mengadakan kuda lumping. Tahu kan? Tempat kalian ada tradisi itu nggak? Nah, mbakku suka melihat acara itu. Aku juga penasaran dengan kuda lumping. Dan satu lagi, katanya kuda lumping suka mengejar siapa saja yang memakai baju merah. Jadi, aku menggunakan baju bunga-bunga warna pink. Nggak mungkin kan aku dikejar. Aku kan unyuk.
Nah, mbakku nggak mau ngajak aku. Alasannya adalah karena aku penakut. Baru sampai, sudah ngajak pulang. Jadi, mbakku suka bete. Sudah, nggak usah menertawakan aku!
Jadi, saat itu mbakku ingin menonton kuda lumping di lapangan A. Dia sudah mengendap-endap supaya nggak kelihatan aku. Tapi, aku tahu kalau mbakku mau nonton kuda lumping. Jadi, aku mengintil mbakku.
“Yola, kamu nggak usah ikut. Sana.”
“Aku berani kok. Nggak takut.”
Akhirnya, mbakku pasrah. Dia mengajakku nonton. Setelah sampai, baru mendengar suara musiknya, aku sudah keder duluan. Entah, aku takut banget. Pengen pulang tetapi tadi aku kan sudah meyakinkan mbakku kalau aku tidak akan rewel. Aku hanya memegangi tangan mbakku. Dia mengajakku menonton lebih dekat tetapi aku menahannya. Bayangkan, jauh saja sudah membuat aku ketakutan, apalagi kalau dekat. Bisa-bisa kencing di celana aku.
“Sudahlah, kamu pulang saja sana. Nggak seru kalau nontonnya jauh,”
Aku hanya ikutin mbakku. Eh, kuda lumpingnya ngamuk. Apa sih namanya? Mabok ya? Pokokknya lebih agresif dari sebelumnya. Jadi, pada lari. Aku juga lari bersama mbakku. Aku gemetar banget saat itu.
“Pulang saja, yok,” ajakku.
Huray! Mbakku mengindahkan  pintaku. Jadi, kami pulang. Aku cengengesan.
“Ma, aku nggak mau ajak Yola lagi. Dia penakut,” ujar mbakku kepada mama.
Sial! Dia ngadu sama mamaku. Alamat disuruh tidur siang. Benar kan, mamaku menyuruhku tidur dan mbakku kembali ke lapangan untuk melihat kuda lumping. Ya, ampuuun! Sangat memalukan emang aku ini. Hiks. Kenangan 17-an jaman dulu.
Read More..

Kelereng


Hulala. Kelereng adalah salah satu permainan favorit masa kecilku. Masa kecil, aku tidak bermain Barbie tetapi aku bermain yoyo, petak umpet, benteng, permainan seru lainnya dan salah satunya kelereng. Jangan salah, gini-gini aku jago memainkan permainan ini. Hanya modal 1 kelereng dapat menghasilnya banyak kelereng.
Selain hobi bermain kelereng, aku juga hobi mengoleksi kelereng. Ya, apapun jenis kelerengnya, aku demen. Mulai dari jenis Persia, Spink, ataupun Angora, aku miiki. Ini sebenernya koleksi kelereng atau kucing sih? Jangan protes! Ini tulisanku, jadi, suka-suka aku dong. Hahahaha. Kalo nggak suka, ya, disuka-sukain dong. Masa gitu saja ngambek. Entar jeleknya kelihatan loh. Buahahaha.
Back to Kelereng kece.
Jamannya SD itu paling enak. Kita masih unyuk-unyuk –aku sih sampe sekarang masih tetep unyuk– dan kita tidak dipusingkan dengan masalah cintrong yang bikin galau dadakan. Hahaha. Yang ngerasa galau pasti tersindir. Emaap :D
Intinya, jaman SD itu jaman yang paling fresh menurutku. Ini menurutku, bagaimana menurutmu? Ngek! Kelereng benda kecil yang memikatku. Ajegile. Aku selalu memainkan permainan ini dengan teman laki-laki. Anak perempuan yang main kelereng Cuma aku. Jangan tanya, apakah aku perempuan atau bukan? Jujur, aku perempuan. Sumfeh dah. Perempuan kece, unyuk, dan menggemaskan.
Sip! Aku hobi banget main kelereng. Terkadang, aku bermain di halaman rumahku atau di lapangan dekat rumahku. Tapi, kali ini, aku dan teman-teman bermain kelereng di halaman rumahku. Aku pasti menang. Aku kan jago main kelereng. Mulai dari yang biasa sampai yang aneh-aneh modelnya, aku jago. Hahaha. Sombong sedikit nggak apa-apa, kan Disini dilarang protes loh. Kalau protes, ntar kambing pak lurah bisa ngamuk, jadi, kalian diam saja. Baca saja sampai tuntas. Hohoho.
Aku asyik main dengan teman-temanku. Tiba-tiba mamaku memanggilku.
“Yola! Tidur siang!”
Sial. Aku kan mau main. Aku acuhkan panggilan mamaku. Aku terus bermain tanpa memerdulikan mama. Maaf, bukannya durhaka loh. Aku kan mau memenangkan permainan kali ini. Itung-itung menambah koleksi. Hohoho.
Mamaku tidak jera. Beliau tetap memanggilku dan menghampiriku. Ukh! Dengan terpaksa, aku mengikuti mama masuk ke rumah dan cuci kaki kemudian tidur siang. Berasa bayi. Aku yang males tidur siang, pura-pura tidur. Aha! Aku punya ide cemerlang. Ekekekek. Emang cerdas aku ini saat itu. *Menaikkan kacamata.
Aku beranjak dari tempat tidur. Aku mengendap-endap, menelusuri keadaan rumah. Aman. Bahagia sekali rasanya. Sukses keluar rumah. Aku melihat teman-temanku masih asyik main kelereng di halaman rumahku. Aku ikutan saja.
“Yola, kamu kan disuruh tidur siang,” ujar salah satu temanku.
“Males ah. Diam dong kamu. Jangan berisik,”
Akhirnya, tanpa banyak cingcong, kami melanjutkan permainan.
“Yola?” Ujar seseorang.
Aku menghentikan aktivitasku. Sepertinya aku pernah mendengar suara ini. Jangan bilang! Jangan bilang ini suara kakakku. Mampus! Aku menengok ke arah sumber suara. Ya, benar saja, aku melihat kakakku sambil tersenyum menyeringai. Hah? Bukan tampangnya yang jelek yang membuat aku takut, tapi, benda yang ada ditangannya. Bukan! Bukan pisau atau golok. Kakakku yang semafia itu kok. Tapi, ini lebih parah.
Kakakku memegang dua buah kotak nasi. Isinya koleksi kelerengku. Huaaah! Mau diapakan? Dia masuk ke rumah, aku mengikutinya dengan takut. Dia berhenti di depan sumur. Sebelum aku bicara, cemplung. Tangisku pecah. Semua kelerengku dimasukkan ke dalam sumur. Aku menangis. Benar-benar hancur hatiku.
Koleksi kelerengku sangat banyak. Mulai yang gompel atau bulukan sampai yang kece seperti mata kucing. Ada yang sangat kecil sampai yang sangat besar. Koleksi kelerengku yang ada di dua buah kotak nasi kini telah lenyap. Nangis sejadi-jadinya.
Seandainya, aku menuruti kata-kata mama. Hiks. Seandainya, aku tidur dan tidak bermain kelereng. Hiks. Momen yang sangat menyakitkan. Sudah ah, aku tidak kuat untuk meneruskan menulis lagi. Sekian. Aku mau menangis dulu. Wassalam.
Read More..

Senin, 13 Agustus 2012

Suara Kucing Itu ......


Kucing. Siapa sih yang tidak tahu hewan lucu yang satu ini? Hampir semua orang menyukai hewan berbulu imut ini. Mulai dari kucing kampung sampai kucing berkelas, tetap saja, kucing ini terlihat imut. Mungkin hanya kucing garong yang tidak disukai oleh masyarakat.
Kucing dapat menjadi teman kita dikala sepi. Dan dapat dijadikan tempat curhat jika kita tidak memiliki teman ketika sedang galau. Setia dan tanpa banyak omong, mungkin hanya suara mengeong-nya saja yang menjadi backsound-nya. Intinya, kucing merupakan hewan multi fungsi.
Tapi, ada satu mitos mengenai hewan mamalia ini. Apakah itu?
õõõ
“Ben, jangan asal nendang kucing kayak gitu. Pamali,”
“Pamali kenapa, Jo? Lo nggak lihat? Dari tadi kucing ini berisik. Gue lagi sibuk dan nggak suka suaranya yang memekakan telinga gue. Berisik! Kalau gue tidak menendang kucing bau itu, pasti deh, dia nggak akan kabur. Nah, karena sekarang sudah tidak ada kucing yang mengganggu gue, gue bisa fokus mengerjakan tugas,”
“Cara lo salah, Ben. Lagian, kucingnya di luar. Kenapa lo harus menendang kucing tak bersalah itu?”
“Terserah! Walaupun di luar atau di dalam kamar gue sekalipun, gue tetap merasa terganggu”
Dua sejoli itu terus saja bersitegang karena perbedaan pendapat. Ben dan Jo adalah teman semenjak mereka menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sekarang mereka sudah beranjak dewasa. Lebih tepatnya, mereka sekarang menikmati masa perkuliahan di universitas swasta di daerah mereka. Dan kebiasaan mereka adalah bergantian menginap. Terkadang, Ben menginap di rumah Jo. Begitu pula sebaliknya. Asalkan jangan Ben menginap di rumah Jo dan Jo menginap di rumah Ben.
Seperti halnya malam ini, Jo menginap di rumah Ben. Sudah biasa, jadi, Jo tidak pernah canggung bila bertemu kedua orangtua Ben. Orangtua Ben malah senang, jadi, mereka tidak perlu khawatir dengan anak semata wayang mereka. Pergaulan jaman sekarang kan sudah tidak benar. Daripada salah pergaulan, lebih baik menginap di rumahnya saja. Lebih enak dilihat.
Ben masih asik mengamati layar laptop sambil sesekali membolak-balik modul materi perkuliahannya. Sedangkan, Jo asik sendiri dengan smartphone-nya. Sesekali ia tersenyum sendiri selama menatap gadget-nya itu. Tapi, ada rasa khawatir di dalam senyumnya. Seperti ada yang ia takutkan.
Ketika mereka sedang asik dengan aktivitas mereka masing-masing, tiba-tiba suara kucing itu kembali mengusik Ben. Ben berusaha untuk mengabaikannya, meski sesekali dia menggerutu sendiri. Jo tidak memerdulikan suara kucing di luar. Dia tetap asik cengar-cengir menatap layar BB-nya. Tapi, ada segurat rasa cemas dari wajah Jo. Keringat mengalir dari dahi-nya.
Keadaan sunyi kembali. Sebelum suara kucing itu terdengar kembali, Ben berinisiatif menggunakan I-pod silvernya. Dia lebih nyaman ditemani suara alunan lagu daripada suara cempreng kucing di luar sana. Sebuah lagu milik Simple Plan – Jetlag menemani Ben mengerjakan tugas. Ben dapat tersenyum sumringah.
Samar-samar suara kucing itu terdengar. Ben santai saja karena dia sudah menggunakan I-pod. Tapi, lama-kelamaan suara kucing itu terdengar juga oleh telinga Ben. Ben mematiskan volume suara I-pod-nya. Hampir full tetapi suara kucing itu masih bisa ia dengar.
õõõ
Wajah Ben terlihat manyun pagi ini. Ya, suara kucing semalam membuat dia empet sendiri. Sedangkan, Jo tenang-tenang saja. Dia merangkul sobatnya tanpa beban. Niatnya sih supaya sobatnya yang sensitif dengan suara kucing ini dapat relaks sedikit.
“Awas saja ya, kalau nanti malam kucing itu masih berisik di depan kamar gue, gue nggak akan tinggal diam,”
“Eh busyet. Ngeri amat woy. Sudahlah, sensi banget sih sama kucing,”
“Suaranya itu loh. Sudah malam bukannya tidur, ini malah berisik,”
Jo hanya terkekeh. Dia mengajak sobatnya yang masih keki dengan tingkah kucing ke kantin mahasiswa.
Di kantin, mereka memesan mie ayam-bakso dan segelas jus jambu. Emang paling sedep, siang-siang begini makan mie ayam dan jus jambu. Segala emosi akan luluh bersama kelezatan mie ayam.
“Ben, ada yang pengen gue certain,”
“Apaan?” Tanya Ben disela makannya.
“Hmm, lo tahu nggak, kalau ada kucing mengeong malam-malam dan ngeongannya lirih seperti tadi malam, itu berarti ada pocong di sekitarnya,”
“Pff! Hahahaha!”
Dengan suskses Ben tertawa. Menertawai kekonyolan temannya ini.
“Kok malah ketawa sih? Gue serius loh,”
“Pppff. Sorry, sorry. Gue nggak habis pikir, ternyata lo percaya mitos yang nggak berkualitas seperti itu ya. Ya, ampun Jo!” Ben berkata disela tawanya.
“Serius gue, Ben,”
“Iya, iya, lo serius. Dan kenapa gue nggak boleh nendang kucing, itu pasti karena kucing itu jelmaan pocong. Hebat! Hari ini, lo benar-benar bisa buat gue terhibur. Cocok banget lo jadi pelawak,”
“Terserah lo saja deh!”
õõõ
Ben sedang asik tiduran di kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Ternyata, Jo yang bertamu di rumahnya pada malam ini.
“Eits, tumben lewat pintu utama. Biasanya juga langsung lewat situ,” ujar Ben sambil menunjuk pintu kamar yang satunya lagi.
Pintu kamar Ben memang ada dua. Pertama, menghubungkan dengan ruang keluarga. Dan satunya lagi menghubungkan dengan halaman rumah.
“Bosen gue. Sekali-kali muncul di tempat yang berbeda, nggak apa-apa kan?”
“Iya deh. Ngapain lo kesini? Bukannya lo mau ke camping bareng anak-anak Pencinta Alam?”
Jo hanya mengidikkan bahunya dan memilih tiduran di ranjang kamar Ben yang bernuansa langit cerah.
“Yee, ditanyain malah begitu jawabnya,” gerutu Ben.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 tetapi Ben dan Jo masih asyik dengan Play Station 2. Permainan soccer kali ini membuat Ben kerja keras, pasalnya ia kalah telak dengan Jo. Tiba-tiba, suara kucing menjadi backsound permainan mereka. Tak mereka gubris, mereka tetap asyik menekan stick masing-masing. Tapi, lama-kelamaan suara kucing tersebut makin lirih dan membuat Ben merasa terganggu dan beranjak dari duduknya.
“Mau kemana, Ben?”
“Tuh suara kucing. Bikin empet saja,”
“Lo beneran nggak takut dengan pocong?”
“Peduli amat! Ini nggak ada kaitannya dengan pocong atau makhluk gaje lainnya. Ini masalah suara kucing yang bikin pengang kuping gue,”
“Parah lo ini! Hati-hati saja deh. Gue nggak nanggung,”
Ben hanya mengibaskan tangannya dan berjalan keluar kamarnya dan mencari kucing yang membuat malamnya menjadi bising. Ketika ia membuka pintu, suara kucing samar-samar berhenti dan tak ia temukan keberadaan kucing tersebut.
Pikir Ben kucing tersebut telah pergi dan ia berniat kembali ke kamarnya. Tapi, baru saja ia tutup pintu kamarnya, suara kucing itu kembali menyeruak. Ben membuka pintu dan ia tidak melihat dimana kucing itu berada. Padahal suaranya sangat dekat dari kamarnya.
“Sial! Gue dikerjain sama kucing. Kucing jaman sekarang tuh benar-benar nyebelin ya, Jo,”
Tidak ada sautan dari Jo dan Ben menengok ke belakang. Ia tidak melihat Jo disana. Ben mengernyitkan keningnya. Dia menduga, Jo lagi ke dapur dan sebentar lagi akan kembali. Tapi, lama ia menunggu, kehadiran Jo tak kunjung datang. Suara kucing itu semakin lama semakin lantang dan lirih. Ben merasa tidak nyaman dengan suara kucing seperti itu. Ia jadi teringat dengan ucapan Jo yang mengatakan bahwa suara kucing seperti ini tandanya ada pocong di sekitarnya. Buru-buru, ia tepiskan pikiran negatif ini.
Suara kucing itu tak kunjung berhenti. Ben mencium bau anyir dari halaman rumahnya. Entah mengapa, kaki Ben berjalan keluar rumah. Ben mendapati Jo tak jauh dari teras kamarnya. Ia segera mendekati Jo.
“Jo! Kemana saja sih lo ini? Kirain gue, lo diculik pocong. Hahaha. Diculik pocong,” ujar Ben tertawa.
Ben kaget ketika Jo menengok ke arahnya. Jelas, ini bukan Jo, temannya. Ben berusaha mundur. Wajah lelaki di hadapannya sangat menyeramkan. Bibirnya pucat. Matanya tak bersinar. Yang paling menyeramkan adalah pipinya yang terkelupas. Sehingga ia melihat ada belatung dan daging yang keluar.
Ben berusaha untuk mundur. Tapi, ia seperti menginjak sesuatu. Ben menengok ke belakang berharap Jo yang ada disana. Bukan Jo yang ia dapati disana tetapi sesuatu yang menggunakan kain kafan. Dekil dan berlumpur. Pocong! Ya, itu pocong. Dan yang lebih mengagetikan Ben adalah wajah pocong itu mirip sekali dengan wajah lelaki yang ia kira adalah Jo. Ben benar-benar lemas. Ben masih sempat melihat pocong itu memiliki mata yang bolong dan banyak belatung keluar dari sana.
õõõ
“Lo kenapa sih, Ben? Jangan kayak anak perempuan! Kasih tahu gue kalau gue ada salah sama lo,”
“Jo! Lo kemana semalam? Lo pergi gitu saja dari rumah gue,”
Jo mengernyitkan keningnya dan menjawab, “Maksud lo apa sih? Gue kan kemah,”
“Ah! Bohong lo! Lo kan yang merencanakan semuanya? Pocong itu,”
Ben menceritakan semuanya kepada Jo.
“Ben. Jujur, gue nggak ke rumah lo. Tanya sama anak Pecinta Alam, ada dimana gue semalam,”
“Terus? Siapa yang ke rumah gue, kalau bukan lo?”
Ben sangat kaget, berarti semalam yang ada di kamarnya bukanlah Jo tetapi pocong yang ada di halamannya. Ben sadar, seharusnya ia dapat menghargai arti mitos. Benar atau tidak benar, semuanya harus dihargai. Ben berjanji tidak akan bicara seenaknya lagi. Dia benar-benar kapok atas apa yang ia alami.
TAMAT
Read More..

Minggu, 17 Juni 2012

Buku USM STAN by RuhFeliz STAN


Hello Adik2 Semua... Gimana kabar??
Bentar lagi Pendaftaran USM STAN akan segera dibuka, so persiapin matang2 dulu ya sebelum tempur. Persiapan yg betul2 matang adalah "Latihan Soal sebanyak mungkin". Nih ada buku USM STAN 2012.. (limited 20pcs only)

Bagi yg berminat langsung comment di bawah ya..
Price 35rb Only
CP 081316022426 / 23413dfc
Read More..

Selasa, 01 Mei 2012

1 Mei 2012


Wah, nggak kerasa ya, Pemisah, sudah ganti bulan saja di tahun 2012 ini. Menurut kalian cepat nggak sih dunia pertanggalan pada tahun 2012 ini? Setahun yang lalu aku berada di Bintaro loh. Ya, ampun! Sudah hampir setahun aku mengenal dengan sahabatku, Martha. Aku kangen banget sama dia loh, Pemirsah. Aku hanya bisa berdoa dapat dipertemukan lagi dengan dia. Hmm, hanya menunggu waktu yang tepat. Semoga diberi kemudahan dan kelancaran. Amin. Aku beneran kangen loh.
Pemirsah, di awal bulan ini aku punya beberapa wishes untuk tiga puluh satu hari ke depan. Aku selalu ingin bisa membanggakan mamaku dan almarhum papa. Aku ingin membanggakan mereka dengan apa yang aku hasilkan. Tentunya, hal positif. Selain itu, aku bisa terus membantu orang-orang yang ada di sekitarku. Walau hanya sesuatu yang simple tetapi dapat bermakna. Intinya, selalu diberi kemudahan dan kelancaran dalam menjalani hidup dan tentu saja dapat terus mengembangkan bakat yang aku miliki. Contoh: makan banyak. Ya, semoga semakin terasah dan selalu menghasilkan karya-karya baru. Amin.
Bagaimana dengan harapan Pemirsah sekalian?
Read More..