Rembulan
pun redup
Melihat
langkahku yang pudar
Aku
tak tahu harus berjalan kemana
Semua
telah tertutup debu
Aku
terlalu lemah untuk berkata
Biarkan
perasaan ini terpendam
Diselimuti
lumut tak berbekas
“Hoi, Gian! Lagi ngapain lo? Nulis puisi
lagi? Sudahlah, kalau lo suka dengan dia, bilang saja. Cupu amat lo jadi
orang,”
“Sial! Lo kira menyatakan perasaan itu
segampang beli gado-gado. Tinggal pesen, nunggu, terus makan. Ya, nggaklah. Itu
sulit,”
“Otak lo terlalu rumit, Ian. Kayak gue
ini, si Vino penakluk hati wanita. Siapa sih yang tahan melihat ketampanan
seorang Vino?”
Gian hanya tertawa menanggapi guyonan
Vino. Temannya ini memang memiliki wajah lebih tampan dari Gian. Jadi, dia
tidak pernah khawatir akan ditolak wanita. Bahkan, dia dengan mudah
mempermainkan hati wanita. Tak jarang, banyak wanita mencarinya karena sakit
hati akibat ulahnya. Tak jarang juga, banyak wanita yang memarahinya karena ia
telah selingkuh dengan banyak wanita. Tapi, semua itu, hanya dijadikan angin
lalu oleh Vino. Dia selalu berpikir, dia masih mudah, jadi, buat apa setia
dengan satu wanita. Sangat berbeda dengan Gian.
YYY
“Mau sampai kapan sih lo suka sama cewek
itu? Bayangkan, sudah hampir sepuluh tahun yang lalu,”
“Hahaha. Vino, dia itu cinta pertama
gue. Gue nggak kayak lo, yang bisa gonta-ganti cewek dalam waktu yang singkat,”
“Eciye, temen gue ini ternyata setia,
ya? Terus, kapan lo mau menyatakan perasaan lo?”
“Itu sangat sulit, Vin. Gue sama dia
nggak dekat dengan dia. Gue nggak tahu harus bermula darimana,”
“Ah! Lo terlalu penakut. Lo belum
mencoba tetapi udah kalah duluan,”
“Biarkan, gue mengamatinya saja. Gue
nggak mau, dia membenci gue kalau dia tahu gue sayang banget sama dia,” ujar
Gian.
“Lo kalah sebelum berperang. Dari SD
kelas lima lo memendam perasaan ini. Tapi, lo nggak ada usaha sedikit pun.
Gian, cewek nggak akan tahu apa perasaan lo kalau lo hanya dia seperti ini.
Setidaknya, lo jujur sama perasaan lo,”
Kedua pemuda itu terlihat bersitegang
dengan pendapat yang berbeda. Vino sangat menyayangkan dengan sikap pecundang
yang dimiliki Gian. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan Gian sehingga Gian
terlalu takut untuk menyatakan perasaannya.
Dari mereka duduk dibangku kelas 5
sekolah dasar hingga umur mereka 21 tahun. Tak ada kejujuran dari Gian tentang
perasaannya. Dia selalu menutupinya. Alasannya klasik, dia takut dibenci oleh
cewek pujaannya. Tapi, sebenarnya, dia tidak akan pernah tahu sampai ia mencoba
menyatakan perasaannya.
“Lo beneran keras kepala, Ian. Gue
mencoba membantu lo tetapi lo. Ah! Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo,”
Gian hanya tersenyum menanggapi
pernyataan Vino. Sejujurnya, dia ingin menyatakan perasaannya pada gadis pujaan
yang telah lama singgah dihatinya tetapi dia tidak tahu harus dimulai darimana.
“Sudahlah, balik yok. Gue capek
mendengarkan lo ceramah kayak gitu,” ujar Gian.
Vino hanya menatap Gian yang sudah mulai
berjalan menuju parkiran. Dia hanya menggelengkan kepalanya dan mengikuti
langkah panjang temannya itu.
YYY
Terlalu
sulit menghapus rasa ini
Rasa
yang telah menghitam di hati
Rasa
yang telah berdebu
Tak
ada cinta yang menyambut
Tapi,
Akan
selalu ku pertahankan semua ini
Perasaan
ini tak akan hilang di tengah hujan
Biarkan
dirinya abadi dalam ingatanku
Gian meletakkan bolpoinnya ketika ringtone handphone-nya berdering. Ia
melihat nama Vino Bawel di layar handphone-nya. Ia segera menekan tombol answer dan terdengar suara Vino di
seberang sana.
“Woy, Gian! Lo lagi apa?”
“Berisik! Gue lagi mau tidur. Kenapa
telponin gue? Lo masih kangen sama gue?”
“Amit-amit! Gue punya rencana. Kita buat
reunian teman-teman SD kita aja. Sekalian, lo bisa ketemu dengan Vero. Lagi
musim libur semester-an nih,”
“Ah! Gila lo! Mereka kan sudah pada
sibuk masing-masing. Gue juga nggak yakin kalau Vero akan datang,”
“Ck! Lo selalu gitu. Sudah takut duluan
sebelum mencoba. Bisa nggak sih, sifat buruk lo ini dihilangin sebentar.
Laki-laki harus gentle!”
“Aduh! Terserah lo saja deh, Vin. Gue
terima beres saja. Atur saja deh,”
“Ah! Lo ini, awas, lo akan nyesel kalau
tidak memulai,” ujar Vino mengingatkan.
“Ya. Sudah ah, perasaan gue nggak harus
diungkapkan. Belum waktunya Vin. Tunggu waktunya dong,”
“Sampai kapan? Sampai dia diambil orang
lain?”
“Gue sih terserah. Dia mau pacaran
dengan siapa saja tetapi gue yang akan jadi pelabuhan terakhirnya,”
“Ya, ya, ya. Intinya, gue sudah ingatkan
lo,”
“Terima kasih Vino yang charming. Bye.
“Bye,”
YYY
Vero adalah perempuan yang sangat
dikagumi oleh Gian dari dulu hingga sekarang. Teman sekolahnya ketika SD. Teman
satu kelas tetapi mereka tidak dekat. Hanya sekadar say hello. Tidak pernah bermain bareng. Veronica Larasati. Cinta
pertama Gian yang tidak pernah mati sampai detik ini.
“Gian! Gian!”
“Apaan sih lo, Vin? Norak amat! Nggak
usah pakai teriak-teriak. Kayak perempuan saja lo ini,”
Vino hanya menyengir. Dia duduk di
samping Gian. Saat ini mereka sedang duduk di balkon rumah Gian. Dia memang
sangat suka main ke rumah Gian dan langsung masuk ke kamar Gian tanpa mengetuk
pintu.
“Minggu depan kita akan mengadakan
reunian di Kampung Sea Food,” ujar Vino sambil menyebutkan salah satu tempat
wisata kuliner yang terkenal di daerahnya.
“Serius lo? Gue dan Vero kan dulu akrab.
Jadi, gue cari nomor dia dan gue dapet. Setelah itu, gue telpon dia dan
mengatakan apa maksud gue. Dan dia menyambut dengan meriah. Dia yang jadi salah
satu koordinator selain gue. Gimana? Tertarik?”
“Serius? Gue ikutan kalau gitu,”
“Hahaha. Sudah gue duga lo akan gitu. So, jangan pernah meremehkan kemampuan
gue dalam berencana,”
“Ya, ya, ya. Terserah lo mau ngomong
apa. Intinya, gue nggak sabar akan bertemu dengannya minggu depan. Gue harus
terlihat cool di hadapannya,”
Gian tersenyum tertahan sangking
bahagianya. Rasanya, ingin meledak dan berubah menjadi kepingan-kepingan
kebahagiaan. Vino merangkul temannya yang sudah ia kenal dari ia duduk di
bangku taman kanak-kanak. Akhirnya, ia dapat mempertemukan Gian dan Vero
setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
YYY
“Vin, gue mau ke gramedia. Lo mau ikut
apa nggak?”
“Ikut saja deh. Gue kan menumpang sama
lo. Hahaha. Gue kan nggak mau rugi sedikit,” uajr Vino tertawa.
“Ah! Lo ini. Ayo!”
Gian dan Vino berjalan menuju tempat
parkiran dimana mobil Gian bersemayam. Gian melajukan mobil-nya dengan
kecepatan normal. Mereka berbincang-bincang mengenai reunian yang akan
dilaksanakan minggu depan. Jujur, Gian merasa gugup menanti hari itu.
Dalam waktu lima belas menit, mereka
sudah berada di tempat tujuan. Gramedia. Tempat favorite keduanya. Gian langsung menghambur ke buku mengenai
filsafat sedangkan Vino segera meluncur ke buku tentang tanaman. Walaupun playboy seperti itu, Vino merupakan
cowok yang sangat menyukai tanaman.
Ketika Gian sedang berjalan mundur,
tanpa sengaja ia mengijak kaki seseorang.
“Ups, maaf. Gue nggak sengaja,” ujar
Gian meminta maaf.
“Ya. Lain kali hati-hati,”
“Ada apaan sih?” Tanya Vino mendekati
Gian. “Eh? Vero? Wow! Kebetulan sekali,”
“Vino? Ya. Kebetulan. Sama siapa lo?”
“Sama anak ini,” ujar Vino menunjuk
Gian.
Vero mengamati wajah Gian. Ia sedikit
berpikir seperti mengingat sesuatu.
“Gian ya? Gianza Iskandar. Cowok paling
pintar di kelas. Makin ganteng aja lo. Apa kabar?”
“Baik,” jawab Gian singkat.
Mereka berbincang sebentar mengenai
reunian yang akan mereka adakan minggu depan. Sepertinya, rencana reunian kali
ini akan berhasil. Gian masih agak jaim dengan keadaan ini. Sejujurnya, dia
ingin bercengkrama lebih akrab dengan Vero tetapi ia terlalu malu dan grogi. Jadi,
hingga Vero berpamitan untuk pulang lebih dulu, Gian hanya diam dan sesekali
tersenyum.
“Gian, lo masih sama kayak dulu, ya.
Nggak berisik seperti Vino. Gue balik dulu ya. Minggu depan jangan lupa datang,”
ujar Vero sebelum ia pergi meninggalkan mereka.
Gian hanya tersenyum. Vino melongok
menatap Gian yang sedari tadi hanya tersenyum menanggapi Vero. Vino nggak habis
pikir bahwa temannya sama sekali tidak respect.
Vino tidak peduli. Setidaknya, Vero tidak lupa dengan Gian. Awal yang baik.
YYY
“Guys,
mohon perhatiannya ya,” suara Vero menggema.
Gian dan Vino memerhatikan Vero dari
jarak yang tidak terlalu jauh. Gian sangat mengagumi perempuan itu. Semakin
hari semakin cantik. Entah, mengapa jantungnya berdegup lebih cepat.
“Gue senang akhirnya kita dapat
berkumpul lagi walaupun tidak banyak yang datang. Gue bicara disini selaku
koordinator sangat senang karena acara ini tidak mengecewakan. Hmm, dan satu
lagi, gue akan beritahu kalian kabar menggembirakan,” ujar Vero tersenyum
lebar.
“Bulan depan, gue akan menikah. Jangan
lupa datang ya. Gue beritahu kalian secara life.
So, kalian harus datang,”
Gian dan Vino terpaku. Tidak percaya
dengan apa yang mereka dengar. Vino merangkul Gian, mencoba menguatkan temannya
ini. Dia tahu pasti apa yang sedang dirasakan Gian saat ini. Hancur
berkeping-keping.
Sore hari.
“Vero, sorry, bukan maksud gue untuk
menghancurkan pernikahan lo bulan depan. Tapi, apakah lo tahu, lo telah
menyakiti seseorang? Gian yang sedari SD sangat menyukai lo,”
“Hah? Terus, gue harus gimana Vin? Gue
sama sekali tidak tahu. Gue mohon, jangan buat gue marah. Lo jangan salahkan
gue. Gue nggak tahu apa-apa,”
“Gue minta tolong sama lo,”
YYY
Gian bergegas ke kafe yang tak jauh dari
komplek rumahnya. Vero minta ketemuan dengannya. Sejujurnya, dia tidak ingin
bertemu dengan Vero karena dengan melihat Vero, hatinya terasa hancur tak
berbekas. Vero sudah terlihat duduk di salah satu kursi kafe. Dia mendekati
Vero.
“Duduk Gian,” ujar Vero dengan
senyumnya.
“Ada apa, Ve? Tumben,”
Vero mengaduk gelas minumnya dan
kemudian meminumnya secara perlahan.
“Sorry, Ian. Gue nggak mau lo sakit hati
terlalu lama karena gue. Gue nggak tahu, lo mencintai gue selama itu. Jujur,
gue sangat kagum dengan perasaan lo yang tidak pernah berpaling dari gue,”
“Vino yang kasih tahu?”
Vero mengangguk dan berkata, “Gue hanya
mendengar desas-desus kalau lo menaruh hati dengan gue saat kita duduk dibangku
SD. Gue nggak tahu, ternyata perasaan itu tumbuh hingga saat ini,”
Gian menghela napas panjang dan menatap
Vero. Mata yang teduh tetapi semakin lama Gia menatap indahnya mata itu,
perasaan Gian semakin remuk. Dia merasa sangat sesak dan kemudian dia berpaling
dari mata itu.
“Itu hanya cinta-cinta anak SD yang
tumbuh sampai saat ini. Gue nggak mau jadi penghalang pernikahan lo. Lo berhak
bahagia tanpa gangguan gue. Gue ikhlas. Cinta yang tumbuh di hati gue akan
segera gue hapuskan. Gue nggak mau jadi pengganggu masalah cinta lo,”
“Seandainya, lo menyatakan perasaan
kepada gue…”
“Sudahlah, Ve. Gue nggak apa-apa. Semoga
lo bahagia dengan pilihan lo. Gue dan Vino pasti datang diacara itu. Perasaan
di dalam hati gue, biar gue yang mengatasinya. Cinta adalah penyakit tetapi
penyakit yang dapat mengobati penyakit lainnya. Gue percaya, walaupun gue sakit
karena cinta, suatu saat, gue akan sembuh karena cinta juga. Lo bahagialah
dengannya,”
“Gue salut sama lo, Gi. Gue akan tunggu
kehadiran lo. Gue balik dulu ya. Maaf gue mengecewakan lo,”
Gian hanya tersenyum, memerhatikan Vero
yang berjalan keluar dari kafe dan semakin jauh meninggalkan Gian yang masih
duduk terpaku. Gian tersenyum getir.
“Ternyata, gue kalah sebelum berperang.
Gue terlalu takut untuk jujur atas perasaan gue. Ketakutan membuat gue masuk ke
dalam kegalutan. Gue harus segera sadar, cinta yang tumbuh sekian lama harus
dihentikan saat ini juga,” bisik Gian kepada dirinya sendiri.
Ku
cinta kamu namun ku tersiksa
Bahagialah
dengan keputusanmu
Bahagialah
dengan pilihanmu
Ku
tersiksa dengan cinta yang kubuat sendiri
Kau
tak pernah tahu
Cintaku
sangat dalam untukmu
Biarkan
diriku yang terluka
Terluka
karena indahnya mencintaimu
Kutitipkan
cinta putih ini padanya
Pasti
akan kutemukan sinar cinta dihati lain
Gian sadar, cinta pertamanya tidak dapat
ia miliki selamanya. Semua ini akan dijadikan pelajaran berharga baginya.
TAMAT