Pages



Sabtu, 18 Agustus 2012

Idul Fitri

Suara gema takbir telah terdengar. Kemenangan telah di depan mata. Ada rasa senang sekaligus sedih. Tahun ini sangat berbed dari tahun sebelumnya. Sangat berbeda.
Mulai dari Ramadhan hingga detik ini aku merasa perbedaan yang sangat significant. Aku masih tidak memercayai semua ini. Terkadang aku bertanya, cukup adilkah semua ini? Jujur, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Menangis semua ini. Tapi, tidak bisa. Tak ada airmata yang mengalir di wajahku. Aku hanya merasa mataku berkaca-kaca tetapi tidak menangis. Jujur, aku merasa sesak. Sangat! Rasanya aku ingin berteriak. Teriak sekencang-kencangnya. Mengapa ini terjadi padaku?
Idul Fitri kali ini memang sangat berbeda di dalam keluargaku. Untuk kali pertamanya, keluarga ini tidak menjalankan Ramadhan dan Idul Fitri tanpa dua orang yang sangat aku sayangi. Tanpa papa dan kak Diaz. Selang waktu enam bulan. Secepat itu? Ya! Papaku meninggal bulan Desember 2011 dan kak Diaz meninggal bulan Mei 2012. Aku sangat sedih.
Aku tidak bisa mencium papa dan kak Diaz. Tidak bisa! Terkadang, aku iri melihat orang lain bisa menggandeng tangan papanya dan tertawa bersama kakak mereka. Aku sangat iri. Seandainya, aku masih bisa mencium mereka......
Aku berharap, semoga ALLOH mempertemukan kami di surga. Aku sangat ingin bertemu dengan papa dan kak Diaz. Aku kangen mereka.
Aku bersyukur, aku bukanlah anak yang canggung untuk bilang "Aku sayang papa" atau "Aku sayang kak Diaz" dan aku tidak pernah canggung untuk mencium kedua pipi mereka. Aku tidak pernah canggung menunjukkan rasa sayangku pada orangtuaku dan kakakku. Karena kebiasaan itu, aku jadi merasa benar-benar kehilangan.
Aku menyesal saat beberapa jam sebelum papa meninggal. Mengapa aku tidak mencium papa? Biasanya, setiap hari aku selalu mencium papa. Kenapa saat itu aku tidak mencium papa? Kenapa? Aku merasa sangat bodoh! Aku hanya mengamabil gambar papa. Itupun hanya sekali. Biasanya aku paling suka mengambil gambar papa dan mama berkali-kali. Tapi, mengapa saat itu aku mengambil gambar hanya sekali? Aku menyesal sampai detik ini.
Dan aku juga merasa menyesal. Sangat menyesal. Saat beberapa jam sebelum kak Diaz meninggal, dia meminta aku untuk menemaninya di kamar. Tapi, aku malah menolaknya. Alasannya cuma karena aku males. Aku sangat tolol! Biasanya, aku langsung menemaninya sambil meminjat keningnya. Sesekali mencium pipi kakakku. Tapi, saat itu aku malah menolaknya. Aku sangat menyesal. Mengapa aku tidak mengindahkan pinta kakakku saat itu?
Akhirnya, malam ini, sekian lama aku tahan, air mata ini keluar juga. Mengalir dengan derasnya. Aku sangat merindukan Almarhum papa dan kak Diaz. Sangat!
Loveyou.
Idul Fitri ini terasa sangat berbeda tanpa mereka di sampingku. Jika boleh meminta, aku ingin kehadiran papa dan kak Diaz disini. Aku ingin memeluk dan mencium mereka.
Read More..

Jumat, 17 Agustus 2012

Memory of August 17th


17 Agustus 2012.
Happy birthday Indonesia. Dirgahayu Negeriku Tercintah :*
Semoga semakin jaya dan korupsi semakin berkurang. Semoga pemerintahnya menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, supaya tidak ada lagi yang dirugikan. Aamiin. Maaf pemirsah kalau aku malah curhat. Nggak mengandung SARA, kan? Menganduk anak kambing nggak apa-apa, kan? Hihihi. Maaf kalau garing. Angkat saja kalau sudah garing. Ngok!
Kalau 17-an begini, aku ingat jamannya masih kecil. Busyet, berasa sudah tua saja aku ini. Ingat, umur-ku masih 19 tahun, jadi, belum bisa dikategorikan tua. Masih unyuk dan menggemaskan kok. Muehehehehe. Memuji diri sendiri nggak dosa, kan? Kalau nggak suka, ya, nggak usah dilanjutin membacanya. Buahahaha. Lanjooot!
Jaman gue masih bau kencur dan ingusan, aseli, waktu kecil gue ingusan nggak berhenti-berhenti. Eits, ini kok malah membahas ingus sih? Back to the point. Jaman gue masih terlalu unyuk –masih ESDE– gue pernah ikut lomba di acara 17-an di kampung atau di sekolahku loh. Bangga sedikit nggak apa-apa, kan?
Ya, walaupun nggak menang, yang penting sudah pernah ikut berpartisipasi. Aku pernah ikut lomba makan kelereng. Hebat kan aku? Makanya jangan remehkan aku. Aku selain unyuk tetapi juga memiliki attitude yang agak nggak benar. Abnormal gitu deh. Nggak usah syok gitu bisa kali, ya? Biasa saja. Selama kelereng masih bulat dan perutku masih buncit, disitulah kambing pak lurah kelihatan tampannya. Ini apa hubungannya coba? Lupakan!
Well, ada satu pengalaman yang kalau diingat-ingat membuat aku pengen menjedotkan kepala di pohon toge. Pengalaman atau kenangan ya? Ya, intinya membuat aku malu. Malu untuk diceritakan. Tidak pantas anak-cucu-ku mengetahui cerita ini. Buahaha. Berasa mau nikah besok aja sih aku ini.
Jujur, jari-jariku tidak kuat untuk menuliskan ini. Tapi, indahnya berbagi membuatku harus tahan malu. Hmm, ketika aku masih kecil, aku sangat cengeng. Cengeng abis. Amit-amit kalau diingat-ingat. Cengengnya nggak ketulungan. Dan satu lagi, aku sebenarnya penakut tetapi penasaran. Nah loh.
Jadi, begini awal mulanya. Aku suka main di kampung orang lain karena disana ada teman sekolahku. Rata-rata teman sekolahku main di lapangan A bukan di lapangan B. Jadi, aku ikutan kesana. Nggak jauh. Ngesot pun masih bisa dijangkau kok. Jadi, aku ikutan lomba di lapangan A. Aku sudah mendaftarkan diri lomba balap kelereng. Tahu kan? Itu loh, kita gigit  ujung sendok dan ada kelereng di ujung satunya. Ngerti nggak? Kalau aku sih nggak ngerti. Hohoho.
Okay, sambil menunggu bagianku dipanggil, aku main-main dulu dengan teman-temanku disana. Mereka jahil sama aku, sebenernya, aku juga jahil tetapi aku cengeng. Eneg banget nggak tuh? Hiks. Kami disana bermai-main alakadar-nya. Maklum, jaman dulu masih suka main tanah bukan main gadget kece seperti anak-anak jaman sekarang. Nah, tiba-tiba salah satu temanku berkata, “Yola, kamu ikut lomba balap kelereng, kan? Sudah bawa sendok dan kelereng?”
Aku hanya bengong ketika temanku berkata seperti itu karena memang tidak ada pengumuman untuk membawa peralatan perlombaan masing-masing. Mukaku cengok banget. Kelihatan tololnya. Aku sadar dan aku hanya menggeleng.
“Hayo, Yola. Kamu nggak bisa ikutan lomba,” ujarnya menakutiku.
Mampuslah! Tambah bloon saja mukaku. Aku sedikit ketakutan. Pasalnya, aku tidak punya kelereng. Bukan karena nggak bisa membeli kelereng atau tidak suka main kelereng. Kelereng-ku sudah dibuang di sumur oleh kakakku. (Baca cerita kelereng).
“Aku pinjem punyamu sih,” rengekku.
“Nggak boleh.”
“Pelit betul. Pinjem sih.”
“Nggak mau.”
Aku langsung badmood seketika. Aku balik ke rumah ketika di jalan, samar-samar aku mendengar namaku dipanggil dari pengeras suara. Sial! Aku nggak ikutan lomba dan aku sadar, ternyata aku dikerjain sama temanku supaya dia nggak ada saingannya. Lolok banget, kan? Memalukan! Cengeng-cengeng begini, aku kayak anak laki kalau ikutan lomba. Bringasan gitu. Grasak-grusuk.
Karena tidak bisa ikut lomba, akhirnya, aku menangis di rumah. Benar-benar pengen ikutan lomba. Terpaksa, aku ikut lomba makan kelereng. Hehehe.
Selain itu, ada satu masa-masa dongok. Sudah aku bilang sebelumnya, kalau aku penakut tetapi penasaran. Jadi, biasanya setiap 17-an di tempatku suka mengadakan kuda lumping. Tahu kan? Tempat kalian ada tradisi itu nggak? Nah, mbakku suka melihat acara itu. Aku juga penasaran dengan kuda lumping. Dan satu lagi, katanya kuda lumping suka mengejar siapa saja yang memakai baju merah. Jadi, aku menggunakan baju bunga-bunga warna pink. Nggak mungkin kan aku dikejar. Aku kan unyuk.
Nah, mbakku nggak mau ngajak aku. Alasannya adalah karena aku penakut. Baru sampai, sudah ngajak pulang. Jadi, mbakku suka bete. Sudah, nggak usah menertawakan aku!
Jadi, saat itu mbakku ingin menonton kuda lumping di lapangan A. Dia sudah mengendap-endap supaya nggak kelihatan aku. Tapi, aku tahu kalau mbakku mau nonton kuda lumping. Jadi, aku mengintil mbakku.
“Yola, kamu nggak usah ikut. Sana.”
“Aku berani kok. Nggak takut.”
Akhirnya, mbakku pasrah. Dia mengajakku nonton. Setelah sampai, baru mendengar suara musiknya, aku sudah keder duluan. Entah, aku takut banget. Pengen pulang tetapi tadi aku kan sudah meyakinkan mbakku kalau aku tidak akan rewel. Aku hanya memegangi tangan mbakku. Dia mengajakku menonton lebih dekat tetapi aku menahannya. Bayangkan, jauh saja sudah membuat aku ketakutan, apalagi kalau dekat. Bisa-bisa kencing di celana aku.
“Sudahlah, kamu pulang saja sana. Nggak seru kalau nontonnya jauh,”
Aku hanya ikutin mbakku. Eh, kuda lumpingnya ngamuk. Apa sih namanya? Mabok ya? Pokokknya lebih agresif dari sebelumnya. Jadi, pada lari. Aku juga lari bersama mbakku. Aku gemetar banget saat itu.
“Pulang saja, yok,” ajakku.
Huray! Mbakku mengindahkan  pintaku. Jadi, kami pulang. Aku cengengesan.
“Ma, aku nggak mau ajak Yola lagi. Dia penakut,” ujar mbakku kepada mama.
Sial! Dia ngadu sama mamaku. Alamat disuruh tidur siang. Benar kan, mamaku menyuruhku tidur dan mbakku kembali ke lapangan untuk melihat kuda lumping. Ya, ampuuun! Sangat memalukan emang aku ini. Hiks. Kenangan 17-an jaman dulu.
Read More..

Kelereng


Hulala. Kelereng adalah salah satu permainan favorit masa kecilku. Masa kecil, aku tidak bermain Barbie tetapi aku bermain yoyo, petak umpet, benteng, permainan seru lainnya dan salah satunya kelereng. Jangan salah, gini-gini aku jago memainkan permainan ini. Hanya modal 1 kelereng dapat menghasilnya banyak kelereng.
Selain hobi bermain kelereng, aku juga hobi mengoleksi kelereng. Ya, apapun jenis kelerengnya, aku demen. Mulai dari jenis Persia, Spink, ataupun Angora, aku miiki. Ini sebenernya koleksi kelereng atau kucing sih? Jangan protes! Ini tulisanku, jadi, suka-suka aku dong. Hahahaha. Kalo nggak suka, ya, disuka-sukain dong. Masa gitu saja ngambek. Entar jeleknya kelihatan loh. Buahahaha.
Back to Kelereng kece.
Jamannya SD itu paling enak. Kita masih unyuk-unyuk –aku sih sampe sekarang masih tetep unyuk– dan kita tidak dipusingkan dengan masalah cintrong yang bikin galau dadakan. Hahaha. Yang ngerasa galau pasti tersindir. Emaap :D
Intinya, jaman SD itu jaman yang paling fresh menurutku. Ini menurutku, bagaimana menurutmu? Ngek! Kelereng benda kecil yang memikatku. Ajegile. Aku selalu memainkan permainan ini dengan teman laki-laki. Anak perempuan yang main kelereng Cuma aku. Jangan tanya, apakah aku perempuan atau bukan? Jujur, aku perempuan. Sumfeh dah. Perempuan kece, unyuk, dan menggemaskan.
Sip! Aku hobi banget main kelereng. Terkadang, aku bermain di halaman rumahku atau di lapangan dekat rumahku. Tapi, kali ini, aku dan teman-teman bermain kelereng di halaman rumahku. Aku pasti menang. Aku kan jago main kelereng. Mulai dari yang biasa sampai yang aneh-aneh modelnya, aku jago. Hahaha. Sombong sedikit nggak apa-apa, kan Disini dilarang protes loh. Kalau protes, ntar kambing pak lurah bisa ngamuk, jadi, kalian diam saja. Baca saja sampai tuntas. Hohoho.
Aku asyik main dengan teman-temanku. Tiba-tiba mamaku memanggilku.
“Yola! Tidur siang!”
Sial. Aku kan mau main. Aku acuhkan panggilan mamaku. Aku terus bermain tanpa memerdulikan mama. Maaf, bukannya durhaka loh. Aku kan mau memenangkan permainan kali ini. Itung-itung menambah koleksi. Hohoho.
Mamaku tidak jera. Beliau tetap memanggilku dan menghampiriku. Ukh! Dengan terpaksa, aku mengikuti mama masuk ke rumah dan cuci kaki kemudian tidur siang. Berasa bayi. Aku yang males tidur siang, pura-pura tidur. Aha! Aku punya ide cemerlang. Ekekekek. Emang cerdas aku ini saat itu. *Menaikkan kacamata.
Aku beranjak dari tempat tidur. Aku mengendap-endap, menelusuri keadaan rumah. Aman. Bahagia sekali rasanya. Sukses keluar rumah. Aku melihat teman-temanku masih asyik main kelereng di halaman rumahku. Aku ikutan saja.
“Yola, kamu kan disuruh tidur siang,” ujar salah satu temanku.
“Males ah. Diam dong kamu. Jangan berisik,”
Akhirnya, tanpa banyak cingcong, kami melanjutkan permainan.
“Yola?” Ujar seseorang.
Aku menghentikan aktivitasku. Sepertinya aku pernah mendengar suara ini. Jangan bilang! Jangan bilang ini suara kakakku. Mampus! Aku menengok ke arah sumber suara. Ya, benar saja, aku melihat kakakku sambil tersenyum menyeringai. Hah? Bukan tampangnya yang jelek yang membuat aku takut, tapi, benda yang ada ditangannya. Bukan! Bukan pisau atau golok. Kakakku yang semafia itu kok. Tapi, ini lebih parah.
Kakakku memegang dua buah kotak nasi. Isinya koleksi kelerengku. Huaaah! Mau diapakan? Dia masuk ke rumah, aku mengikutinya dengan takut. Dia berhenti di depan sumur. Sebelum aku bicara, cemplung. Tangisku pecah. Semua kelerengku dimasukkan ke dalam sumur. Aku menangis. Benar-benar hancur hatiku.
Koleksi kelerengku sangat banyak. Mulai yang gompel atau bulukan sampai yang kece seperti mata kucing. Ada yang sangat kecil sampai yang sangat besar. Koleksi kelerengku yang ada di dua buah kotak nasi kini telah lenyap. Nangis sejadi-jadinya.
Seandainya, aku menuruti kata-kata mama. Hiks. Seandainya, aku tidur dan tidak bermain kelereng. Hiks. Momen yang sangat menyakitkan. Sudah ah, aku tidak kuat untuk meneruskan menulis lagi. Sekian. Aku mau menangis dulu. Wassalam.
Read More..

Senin, 13 Agustus 2012

Suara Kucing Itu ......


Kucing. Siapa sih yang tidak tahu hewan lucu yang satu ini? Hampir semua orang menyukai hewan berbulu imut ini. Mulai dari kucing kampung sampai kucing berkelas, tetap saja, kucing ini terlihat imut. Mungkin hanya kucing garong yang tidak disukai oleh masyarakat.
Kucing dapat menjadi teman kita dikala sepi. Dan dapat dijadikan tempat curhat jika kita tidak memiliki teman ketika sedang galau. Setia dan tanpa banyak omong, mungkin hanya suara mengeong-nya saja yang menjadi backsound-nya. Intinya, kucing merupakan hewan multi fungsi.
Tapi, ada satu mitos mengenai hewan mamalia ini. Apakah itu?
õõõ
“Ben, jangan asal nendang kucing kayak gitu. Pamali,”
“Pamali kenapa, Jo? Lo nggak lihat? Dari tadi kucing ini berisik. Gue lagi sibuk dan nggak suka suaranya yang memekakan telinga gue. Berisik! Kalau gue tidak menendang kucing bau itu, pasti deh, dia nggak akan kabur. Nah, karena sekarang sudah tidak ada kucing yang mengganggu gue, gue bisa fokus mengerjakan tugas,”
“Cara lo salah, Ben. Lagian, kucingnya di luar. Kenapa lo harus menendang kucing tak bersalah itu?”
“Terserah! Walaupun di luar atau di dalam kamar gue sekalipun, gue tetap merasa terganggu”
Dua sejoli itu terus saja bersitegang karena perbedaan pendapat. Ben dan Jo adalah teman semenjak mereka menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sekarang mereka sudah beranjak dewasa. Lebih tepatnya, mereka sekarang menikmati masa perkuliahan di universitas swasta di daerah mereka. Dan kebiasaan mereka adalah bergantian menginap. Terkadang, Ben menginap di rumah Jo. Begitu pula sebaliknya. Asalkan jangan Ben menginap di rumah Jo dan Jo menginap di rumah Ben.
Seperti halnya malam ini, Jo menginap di rumah Ben. Sudah biasa, jadi, Jo tidak pernah canggung bila bertemu kedua orangtua Ben. Orangtua Ben malah senang, jadi, mereka tidak perlu khawatir dengan anak semata wayang mereka. Pergaulan jaman sekarang kan sudah tidak benar. Daripada salah pergaulan, lebih baik menginap di rumahnya saja. Lebih enak dilihat.
Ben masih asik mengamati layar laptop sambil sesekali membolak-balik modul materi perkuliahannya. Sedangkan, Jo asik sendiri dengan smartphone-nya. Sesekali ia tersenyum sendiri selama menatap gadget-nya itu. Tapi, ada rasa khawatir di dalam senyumnya. Seperti ada yang ia takutkan.
Ketika mereka sedang asik dengan aktivitas mereka masing-masing, tiba-tiba suara kucing itu kembali mengusik Ben. Ben berusaha untuk mengabaikannya, meski sesekali dia menggerutu sendiri. Jo tidak memerdulikan suara kucing di luar. Dia tetap asik cengar-cengir menatap layar BB-nya. Tapi, ada segurat rasa cemas dari wajah Jo. Keringat mengalir dari dahi-nya.
Keadaan sunyi kembali. Sebelum suara kucing itu terdengar kembali, Ben berinisiatif menggunakan I-pod silvernya. Dia lebih nyaman ditemani suara alunan lagu daripada suara cempreng kucing di luar sana. Sebuah lagu milik Simple Plan – Jetlag menemani Ben mengerjakan tugas. Ben dapat tersenyum sumringah.
Samar-samar suara kucing itu terdengar. Ben santai saja karena dia sudah menggunakan I-pod. Tapi, lama-kelamaan suara kucing itu terdengar juga oleh telinga Ben. Ben mematiskan volume suara I-pod-nya. Hampir full tetapi suara kucing itu masih bisa ia dengar.
õõõ
Wajah Ben terlihat manyun pagi ini. Ya, suara kucing semalam membuat dia empet sendiri. Sedangkan, Jo tenang-tenang saja. Dia merangkul sobatnya tanpa beban. Niatnya sih supaya sobatnya yang sensitif dengan suara kucing ini dapat relaks sedikit.
“Awas saja ya, kalau nanti malam kucing itu masih berisik di depan kamar gue, gue nggak akan tinggal diam,”
“Eh busyet. Ngeri amat woy. Sudahlah, sensi banget sih sama kucing,”
“Suaranya itu loh. Sudah malam bukannya tidur, ini malah berisik,”
Jo hanya terkekeh. Dia mengajak sobatnya yang masih keki dengan tingkah kucing ke kantin mahasiswa.
Di kantin, mereka memesan mie ayam-bakso dan segelas jus jambu. Emang paling sedep, siang-siang begini makan mie ayam dan jus jambu. Segala emosi akan luluh bersama kelezatan mie ayam.
“Ben, ada yang pengen gue certain,”
“Apaan?” Tanya Ben disela makannya.
“Hmm, lo tahu nggak, kalau ada kucing mengeong malam-malam dan ngeongannya lirih seperti tadi malam, itu berarti ada pocong di sekitarnya,”
“Pff! Hahahaha!”
Dengan suskses Ben tertawa. Menertawai kekonyolan temannya ini.
“Kok malah ketawa sih? Gue serius loh,”
“Pppff. Sorry, sorry. Gue nggak habis pikir, ternyata lo percaya mitos yang nggak berkualitas seperti itu ya. Ya, ampun Jo!” Ben berkata disela tawanya.
“Serius gue, Ben,”
“Iya, iya, lo serius. Dan kenapa gue nggak boleh nendang kucing, itu pasti karena kucing itu jelmaan pocong. Hebat! Hari ini, lo benar-benar bisa buat gue terhibur. Cocok banget lo jadi pelawak,”
“Terserah lo saja deh!”
õõõ
Ben sedang asik tiduran di kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Ternyata, Jo yang bertamu di rumahnya pada malam ini.
“Eits, tumben lewat pintu utama. Biasanya juga langsung lewat situ,” ujar Ben sambil menunjuk pintu kamar yang satunya lagi.
Pintu kamar Ben memang ada dua. Pertama, menghubungkan dengan ruang keluarga. Dan satunya lagi menghubungkan dengan halaman rumah.
“Bosen gue. Sekali-kali muncul di tempat yang berbeda, nggak apa-apa kan?”
“Iya deh. Ngapain lo kesini? Bukannya lo mau ke camping bareng anak-anak Pencinta Alam?”
Jo hanya mengidikkan bahunya dan memilih tiduran di ranjang kamar Ben yang bernuansa langit cerah.
“Yee, ditanyain malah begitu jawabnya,” gerutu Ben.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 tetapi Ben dan Jo masih asyik dengan Play Station 2. Permainan soccer kali ini membuat Ben kerja keras, pasalnya ia kalah telak dengan Jo. Tiba-tiba, suara kucing menjadi backsound permainan mereka. Tak mereka gubris, mereka tetap asyik menekan stick masing-masing. Tapi, lama-kelamaan suara kucing tersebut makin lirih dan membuat Ben merasa terganggu dan beranjak dari duduknya.
“Mau kemana, Ben?”
“Tuh suara kucing. Bikin empet saja,”
“Lo beneran nggak takut dengan pocong?”
“Peduli amat! Ini nggak ada kaitannya dengan pocong atau makhluk gaje lainnya. Ini masalah suara kucing yang bikin pengang kuping gue,”
“Parah lo ini! Hati-hati saja deh. Gue nggak nanggung,”
Ben hanya mengibaskan tangannya dan berjalan keluar kamarnya dan mencari kucing yang membuat malamnya menjadi bising. Ketika ia membuka pintu, suara kucing samar-samar berhenti dan tak ia temukan keberadaan kucing tersebut.
Pikir Ben kucing tersebut telah pergi dan ia berniat kembali ke kamarnya. Tapi, baru saja ia tutup pintu kamarnya, suara kucing itu kembali menyeruak. Ben membuka pintu dan ia tidak melihat dimana kucing itu berada. Padahal suaranya sangat dekat dari kamarnya.
“Sial! Gue dikerjain sama kucing. Kucing jaman sekarang tuh benar-benar nyebelin ya, Jo,”
Tidak ada sautan dari Jo dan Ben menengok ke belakang. Ia tidak melihat Jo disana. Ben mengernyitkan keningnya. Dia menduga, Jo lagi ke dapur dan sebentar lagi akan kembali. Tapi, lama ia menunggu, kehadiran Jo tak kunjung datang. Suara kucing itu semakin lama semakin lantang dan lirih. Ben merasa tidak nyaman dengan suara kucing seperti itu. Ia jadi teringat dengan ucapan Jo yang mengatakan bahwa suara kucing seperti ini tandanya ada pocong di sekitarnya. Buru-buru, ia tepiskan pikiran negatif ini.
Suara kucing itu tak kunjung berhenti. Ben mencium bau anyir dari halaman rumahnya. Entah mengapa, kaki Ben berjalan keluar rumah. Ben mendapati Jo tak jauh dari teras kamarnya. Ia segera mendekati Jo.
“Jo! Kemana saja sih lo ini? Kirain gue, lo diculik pocong. Hahaha. Diculik pocong,” ujar Ben tertawa.
Ben kaget ketika Jo menengok ke arahnya. Jelas, ini bukan Jo, temannya. Ben berusaha mundur. Wajah lelaki di hadapannya sangat menyeramkan. Bibirnya pucat. Matanya tak bersinar. Yang paling menyeramkan adalah pipinya yang terkelupas. Sehingga ia melihat ada belatung dan daging yang keluar.
Ben berusaha untuk mundur. Tapi, ia seperti menginjak sesuatu. Ben menengok ke belakang berharap Jo yang ada disana. Bukan Jo yang ia dapati disana tetapi sesuatu yang menggunakan kain kafan. Dekil dan berlumpur. Pocong! Ya, itu pocong. Dan yang lebih mengagetikan Ben adalah wajah pocong itu mirip sekali dengan wajah lelaki yang ia kira adalah Jo. Ben benar-benar lemas. Ben masih sempat melihat pocong itu memiliki mata yang bolong dan banyak belatung keluar dari sana.
õõõ
“Lo kenapa sih, Ben? Jangan kayak anak perempuan! Kasih tahu gue kalau gue ada salah sama lo,”
“Jo! Lo kemana semalam? Lo pergi gitu saja dari rumah gue,”
Jo mengernyitkan keningnya dan menjawab, “Maksud lo apa sih? Gue kan kemah,”
“Ah! Bohong lo! Lo kan yang merencanakan semuanya? Pocong itu,”
Ben menceritakan semuanya kepada Jo.
“Ben. Jujur, gue nggak ke rumah lo. Tanya sama anak Pecinta Alam, ada dimana gue semalam,”
“Terus? Siapa yang ke rumah gue, kalau bukan lo?”
Ben sangat kaget, berarti semalam yang ada di kamarnya bukanlah Jo tetapi pocong yang ada di halamannya. Ben sadar, seharusnya ia dapat menghargai arti mitos. Benar atau tidak benar, semuanya harus dihargai. Ben berjanji tidak akan bicara seenaknya lagi. Dia benar-benar kapok atas apa yang ia alami.
TAMAT
Read More..