Pages



Sabtu, 01 September 2012

Masa Lalu Cinta Lama


Rembulan pun redup
Melihat langkahku yang pudar
Aku tak tahu harus berjalan kemana
Semua telah tertutup debu
Aku terlalu lemah untuk berkata
Biarkan perasaan ini terpendam
Diselimuti lumut tak berbekas
“Hoi, Gian! Lagi ngapain lo? Nulis puisi lagi? Sudahlah, kalau lo suka dengan dia, bilang saja. Cupu amat lo jadi orang,”
“Sial! Lo kira menyatakan perasaan itu segampang beli gado-gado. Tinggal pesen, nunggu, terus makan. Ya, nggaklah. Itu sulit,”
“Otak lo terlalu rumit, Ian. Kayak gue ini, si Vino penakluk hati wanita. Siapa sih yang tahan melihat ketampanan seorang Vino?”
Gian hanya tertawa menanggapi guyonan Vino. Temannya ini memang memiliki wajah lebih tampan dari Gian. Jadi, dia tidak pernah khawatir akan ditolak wanita. Bahkan, dia dengan mudah mempermainkan hati wanita. Tak jarang, banyak wanita mencarinya karena sakit hati akibat ulahnya. Tak jarang juga, banyak wanita yang memarahinya karena ia telah selingkuh dengan banyak wanita. Tapi, semua itu, hanya dijadikan angin lalu oleh Vino. Dia selalu berpikir, dia masih mudah, jadi, buat apa setia dengan satu wanita. Sangat berbeda dengan Gian.
YYY
“Mau sampai kapan sih lo suka sama cewek itu? Bayangkan, sudah hampir sepuluh tahun yang lalu,”
“Hahaha. Vino, dia itu cinta pertama gue. Gue nggak kayak lo, yang bisa gonta-ganti cewek dalam waktu yang singkat,”
“Eciye, temen gue ini ternyata setia, ya? Terus, kapan lo mau menyatakan perasaan lo?”
“Itu sangat sulit, Vin. Gue sama dia nggak dekat dengan dia. Gue nggak tahu harus bermula darimana,”
“Ah! Lo terlalu penakut. Lo belum mencoba tetapi udah kalah duluan,”
“Biarkan, gue mengamatinya saja. Gue nggak mau, dia membenci gue kalau dia tahu gue sayang banget sama dia,” ujar Gian.
“Lo kalah sebelum berperang. Dari SD kelas lima lo memendam perasaan ini. Tapi, lo nggak ada usaha sedikit pun. Gian, cewek nggak akan tahu apa perasaan lo kalau lo hanya dia seperti ini. Setidaknya, lo jujur sama perasaan lo,”
Kedua pemuda itu terlihat bersitegang dengan pendapat yang berbeda. Vino sangat menyayangkan dengan sikap pecundang yang dimiliki Gian. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan Gian sehingga Gian terlalu takut untuk menyatakan perasaannya.
Dari mereka duduk dibangku kelas 5 sekolah dasar hingga umur mereka 21 tahun. Tak ada kejujuran dari Gian tentang perasaannya. Dia selalu menutupinya. Alasannya klasik, dia takut dibenci oleh cewek pujaannya. Tapi, sebenarnya, dia tidak akan pernah tahu sampai ia mencoba menyatakan perasaannya.
“Lo beneran keras kepala, Ian. Gue mencoba membantu lo tetapi lo. Ah! Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo,”
Gian hanya tersenyum menanggapi pernyataan Vino. Sejujurnya, dia ingin menyatakan perasaannya pada gadis pujaan yang telah lama singgah dihatinya tetapi dia tidak tahu harus dimulai darimana.
“Sudahlah, balik yok. Gue capek mendengarkan lo ceramah kayak gitu,” ujar Gian.
Vino hanya menatap Gian yang sudah mulai berjalan menuju parkiran. Dia hanya menggelengkan kepalanya dan mengikuti langkah panjang temannya itu.
YYY
Terlalu sulit menghapus rasa ini
Rasa yang telah menghitam di hati
Rasa yang telah berdebu
Tak ada cinta yang menyambut
Tapi,
Akan selalu ku pertahankan semua ini
Perasaan ini tak akan hilang di tengah hujan
Biarkan dirinya abadi dalam ingatanku
Gian meletakkan bolpoinnya ketika ringtone handphone-nya berdering. Ia melihat nama Vino Bawel di layar handphone-nya. Ia segera menekan tombol answer dan terdengar suara Vino di seberang sana.
“Woy, Gian! Lo lagi apa?”
“Berisik! Gue lagi mau tidur. Kenapa telponin gue? Lo masih kangen sama gue?”
“Amit-amit! Gue punya rencana. Kita buat reunian teman-teman SD kita aja. Sekalian, lo bisa ketemu dengan Vero. Lagi musim libur semester-an nih,”
“Ah! Gila lo! Mereka kan sudah pada sibuk masing-masing. Gue juga nggak yakin kalau Vero akan datang,”
“Ck! Lo selalu gitu. Sudah takut duluan sebelum mencoba. Bisa nggak sih, sifat buruk lo ini dihilangin sebentar. Laki-laki harus gentle!”
“Aduh! Terserah lo saja deh, Vin. Gue terima beres saja. Atur saja deh,”
“Ah! Lo ini, awas, lo akan nyesel kalau tidak memulai,” ujar Vino mengingatkan.
“Ya. Sudah ah, perasaan gue nggak harus diungkapkan. Belum waktunya Vin. Tunggu waktunya dong,”
“Sampai kapan? Sampai dia diambil orang lain?”
“Gue sih terserah. Dia mau pacaran dengan siapa saja tetapi gue yang akan jadi pelabuhan terakhirnya,”
“Ya, ya, ya. Intinya, gue sudah ingatkan lo,”
“Terima kasih Vino yang charming. Bye.
Bye,”
YYY
Vero adalah perempuan yang sangat dikagumi oleh Gian dari dulu hingga sekarang. Teman sekolahnya ketika SD. Teman satu kelas tetapi mereka tidak dekat. Hanya sekadar say hello. Tidak pernah bermain bareng. Veronica Larasati. Cinta pertama Gian yang tidak pernah mati sampai detik ini.
“Gian! Gian!”
“Apaan sih lo, Vin? Norak amat! Nggak usah pakai teriak-teriak. Kayak perempuan saja lo ini,”
Vino hanya menyengir. Dia duduk di samping Gian. Saat ini mereka sedang duduk di balkon rumah Gian. Dia memang sangat suka main ke rumah Gian dan langsung masuk ke kamar Gian tanpa mengetuk pintu.
“Minggu depan kita akan mengadakan reunian di Kampung Sea Food,” ujar Vino sambil menyebutkan salah satu tempat wisata kuliner yang terkenal di daerahnya.
“Serius lo? Gue dan Vero kan dulu akrab. Jadi, gue cari nomor dia dan gue dapet. Setelah itu, gue telpon dia dan mengatakan apa maksud gue. Dan dia menyambut dengan meriah. Dia yang jadi salah satu koordinator selain gue. Gimana? Tertarik?”
“Serius? Gue ikutan kalau gitu,”
“Hahaha. Sudah gue duga lo akan gitu. So, jangan pernah meremehkan kemampuan gue dalam berencana,”
“Ya, ya, ya. Terserah lo mau ngomong apa. Intinya, gue nggak sabar akan bertemu dengannya minggu depan. Gue harus terlihat cool di hadapannya,”
Gian tersenyum tertahan sangking bahagianya. Rasanya, ingin meledak dan berubah menjadi kepingan-kepingan kebahagiaan. Vino merangkul temannya yang sudah ia kenal dari ia duduk di bangku taman kanak-kanak. Akhirnya, ia dapat mempertemukan Gian dan Vero setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
YYY
“Vin, gue mau ke gramedia. Lo mau ikut apa nggak?”
“Ikut saja deh. Gue kan menumpang sama lo. Hahaha. Gue kan nggak mau rugi sedikit,” uajr Vino tertawa.
“Ah! Lo ini. Ayo!”
Gian dan Vino berjalan menuju tempat parkiran dimana mobil Gian bersemayam. Gian melajukan mobil-nya dengan kecepatan normal. Mereka berbincang-bincang mengenai reunian yang akan dilaksanakan minggu depan. Jujur, Gian merasa gugup menanti hari itu.
Dalam waktu lima belas menit, mereka sudah berada di tempat tujuan. Gramedia. Tempat favorite keduanya. Gian langsung menghambur ke buku mengenai filsafat sedangkan Vino segera meluncur ke buku tentang tanaman. Walaupun playboy seperti itu, Vino merupakan cowok yang sangat menyukai tanaman.
Ketika Gian sedang berjalan mundur, tanpa sengaja ia mengijak kaki seseorang.
“Ups, maaf. Gue nggak sengaja,” ujar Gian meminta maaf.
“Ya. Lain kali hati-hati,”
“Ada apaan sih?” Tanya Vino mendekati Gian. “Eh? Vero? Wow! Kebetulan sekali,”
“Vino? Ya. Kebetulan. Sama siapa lo?”
“Sama anak ini,” ujar Vino menunjuk Gian.
Vero mengamati wajah Gian. Ia sedikit berpikir seperti mengingat sesuatu.
“Gian ya? Gianza Iskandar. Cowok paling pintar di kelas. Makin ganteng aja lo. Apa kabar?”
“Baik,” jawab Gian singkat.
Mereka berbincang sebentar mengenai reunian yang akan mereka adakan minggu depan. Sepertinya, rencana reunian kali ini akan berhasil. Gian masih agak jaim dengan keadaan ini. Sejujurnya, dia ingin bercengkrama lebih akrab dengan Vero tetapi ia terlalu malu dan grogi. Jadi, hingga Vero berpamitan untuk pulang lebih dulu, Gian hanya diam dan sesekali tersenyum.
“Gian, lo masih sama kayak dulu, ya. Nggak berisik seperti Vino. Gue balik dulu ya. Minggu depan jangan lupa datang,” ujar Vero sebelum ia pergi meninggalkan mereka.
Gian hanya tersenyum. Vino melongok menatap Gian yang sedari tadi hanya tersenyum menanggapi Vero. Vino nggak habis pikir bahwa temannya sama sekali tidak respect. Vino tidak peduli. Setidaknya, Vero tidak lupa dengan Gian. Awal yang baik.
YYY
Guys, mohon perhatiannya ya,” suara Vero menggema.
Gian dan Vino memerhatikan Vero dari jarak yang tidak terlalu jauh. Gian sangat mengagumi perempuan itu. Semakin hari semakin cantik. Entah, mengapa jantungnya berdegup lebih cepat.
“Gue senang akhirnya kita dapat berkumpul lagi walaupun tidak banyak yang datang. Gue bicara disini selaku koordinator sangat senang karena acara ini tidak mengecewakan. Hmm, dan satu lagi, gue akan beritahu kalian kabar menggembirakan,” ujar Vero tersenyum lebar.
“Bulan depan, gue akan menikah. Jangan lupa datang ya. Gue beritahu kalian secara life. So, kalian harus datang,”
Gian dan Vino terpaku. Tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Vino merangkul Gian, mencoba menguatkan temannya ini. Dia tahu pasti apa yang sedang dirasakan Gian saat ini. Hancur berkeping-keping.
Sore hari.
“Vero, sorry, bukan maksud gue untuk menghancurkan pernikahan lo bulan depan. Tapi, apakah lo tahu, lo telah menyakiti seseorang? Gian yang sedari SD sangat menyukai lo,”
“Hah? Terus, gue harus gimana Vin? Gue sama sekali tidak tahu. Gue mohon, jangan buat gue marah. Lo jangan salahkan gue. Gue nggak tahu apa-apa,”
“Gue minta tolong sama lo,”
YYY
Gian bergegas ke kafe yang tak jauh dari komplek rumahnya. Vero minta ketemuan dengannya. Sejujurnya, dia tidak ingin bertemu dengan Vero karena dengan melihat Vero, hatinya terasa hancur tak berbekas. Vero sudah terlihat duduk di salah satu kursi kafe. Dia mendekati Vero.
“Duduk Gian,” ujar Vero dengan senyumnya.
“Ada apa, Ve? Tumben,”
Vero mengaduk gelas minumnya dan kemudian meminumnya secara perlahan.
“Sorry, Ian. Gue nggak mau lo sakit hati terlalu lama karena gue. Gue nggak tahu, lo mencintai gue selama itu. Jujur, gue sangat kagum dengan perasaan lo yang tidak pernah berpaling dari gue,”
“Vino yang kasih tahu?”
Vero mengangguk dan berkata, “Gue hanya mendengar desas-desus kalau lo menaruh hati dengan gue saat kita duduk dibangku SD. Gue nggak tahu, ternyata perasaan itu tumbuh hingga saat ini,”
Gian menghela napas panjang dan menatap Vero. Mata yang teduh tetapi semakin lama Gia menatap indahnya mata itu, perasaan Gian semakin remuk. Dia merasa sangat sesak dan kemudian dia berpaling dari mata itu.
“Itu hanya cinta-cinta anak SD yang tumbuh sampai saat ini. Gue nggak mau jadi penghalang pernikahan lo. Lo berhak bahagia tanpa gangguan gue. Gue ikhlas. Cinta yang tumbuh di hati gue akan segera gue hapuskan. Gue nggak mau jadi pengganggu masalah cinta lo,”
“Seandainya, lo menyatakan perasaan kepada gue…”
“Sudahlah, Ve. Gue nggak apa-apa. Semoga lo bahagia dengan pilihan lo. Gue dan Vino pasti datang diacara itu. Perasaan di dalam hati gue, biar gue yang mengatasinya. Cinta adalah penyakit tetapi penyakit yang dapat mengobati penyakit lainnya. Gue percaya, walaupun gue sakit karena cinta, suatu saat, gue akan sembuh karena cinta juga. Lo bahagialah dengannya,”
“Gue salut sama lo, Gi. Gue akan tunggu kehadiran lo. Gue balik dulu ya. Maaf gue mengecewakan lo,”
Gian hanya tersenyum, memerhatikan Vero yang berjalan keluar dari kafe dan semakin jauh meninggalkan Gian yang masih duduk terpaku. Gian tersenyum getir.
“Ternyata, gue kalah sebelum berperang. Gue terlalu takut untuk jujur atas perasaan gue. Ketakutan membuat gue masuk ke dalam kegalutan. Gue harus segera sadar, cinta yang tumbuh sekian lama harus dihentikan saat ini juga,” bisik Gian kepada dirinya sendiri.
Ku cinta kamu namun ku tersiksa
Bahagialah dengan keputusanmu
Bahagialah dengan pilihanmu
Ku tersiksa dengan cinta yang kubuat sendiri
Kau tak pernah tahu
Cintaku sangat dalam untukmu
Biarkan diriku yang terluka
Terluka karena indahnya mencintaimu
Kutitipkan cinta putih ini padanya
Pasti akan kutemukan sinar cinta dihati lain
Gian sadar, cinta pertamanya tidak dapat ia miliki selamanya. Semua ini akan dijadikan pelajaran berharga baginya.
TAMAT
Read More..